Kondisi ini jelas memberikan efek kelegaan sementara, karena dana bailout sebagai tambalan yang diberikan tidak mampu memenuhi seluruh defisit yang terjadi.Â
Situasi ini diperkeruh dengan pengambilan alokasi dana subsidi kesehatan dari cukai rokok, sebuah hal yang kontradiktif atas persoalan kesehatan karena dampak terbesar yang dihasilkan oleh rokok dan aktifitas merokok itu sendiri. Hal ini tercermin pada laporan (Andri Donnal Putera & Erlangga Djumena, 2018) lewat artikel "Cukai Ikut Tambal BPJS Kesehatan, YLKI Berharap Produksi Rokok Tak Naik", ambigu ini dapat mengasosiasikan kegiatan merokok berguna bagi program kesehatan.
"Jika dana penambal defisit BPJS Kesehatan dari Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau pajak rokok di daerah tidak disalah tafsirkan. Maka jangan sampai ada pandangan yang menilai pemerintah mengobati warganya dengan cara mengeksploitasi warga lain untuk tambah sakit. Eksploitasi yang dimaksud dalam arti menggali dana dari pajak rokok di daerah yang disamakan dengan tetap membiarkan masyarakat untuk tetap merokok. Sementara pajak rokok dipakai untuk mengobati pasien peserta BPJS Kesehatan", pesan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Pertambahan jumlah kepesertaan, dari program kesehatan nasional yang akan terintegrasi menyeluruh pada 2019 tersebut, diklaim sebagai kesuksesan program pemerintah, sementara itu pada realitas yang terjadi dilapangan, terdapat kegagalan atas klaim layanan serta tunggakan pembayaran kepada fasilitas pelayanan kesehatan.Â
Lebih jauh lagi, terdapat potensi ketidakmampuan untuk melakukan pembiayaan program BPJS Kesehatan atas program tersebut, mengingat lebarnya jurang defisit yang terjadi. Situasi dan kondisi tersebut, jelas berpotensi untuk menimbulkan konflik antar parapihak yang terkait dalam layanan BPJS Kesehatan, lantas dimana peran negara?
Padahal sejatinya, sebuah kebijakan kesehatan menjadi penting untuk dapat dipertanggungjawabkan kehadapan publik berkaitan dengan perannya secara produktif untuk mendukung terbentuknya basis sumberdaya manusia yang tangguh, serta dapat menjadi sarana membangun kemampuan untuk berdaya saing.Â
Kebijakan publik dibidang kesehatan, akan dibentuk dengan memperhatikan kesetimbangan hubungan yang terjadi diantara stakeholderterkait, diantaranya; penerima layanan yaitu pasien, operator program yakni BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan seperti dokter dan rumah sakit, serta pemerintah selaku pemangku kebijakan terbesar.
Terlebih situasi penyelesaian jangka pendek dalam bentuk dana talangan pemerintah kepada BPJS Kesehatan bersifat sangat temporer dan hanya sementara, padahal dibutuhkan solusi permanen bagi kontinuitas program dikemudian hari.Â
Perlu ada terobosan lain dalam menuntaskan program populer BPJS Kesehatan agar tidak sekedar menjadi komoditas politik, yang selalu menjadi bahan kampanye untuk mendulang dukungan. Karena potensi letupan konflik, selalu akan timbul pada waktu dimasa mendatang, seiring dengan pertambahan massif jumlah peserta di 2019. Penyelesaian kali ini masih menyisakan tanya dan meninggalkan titik persoalan baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H