Ketiga: tuduhan kecurangan justru mengarah kepada pihak internal BPJS Kesehatan, karena semua tagihan yang terkirim dari pihak provider telah mengalami verifikasi oleh pihak BPJS Kesehatan itu sendiri sebelum dinyatakan final dan layak serta telah jatuh tempo untuk dibayar sebagai kewajiban.
Keempat: dengan melakukan audit eksternal, yang agaknya akan diberlakukan menyeluruh kali ini, terbayangkan biayanya, yang menjadi double cost dibandingkan memastikan kewajiban bayar pada provider yang telah terjadi. Tentu hal ini sangat disayangkan, terlebih arahan yang diberikan justru mengambil fasilitas talangan kredit modal kerja kepada perbankan, siapa yang tanggungjawab atas bunga dan denda dari bank jika terjadi default pembayaran?.
Kelima: situasi ini secara keseluruhan jelas tidak membangun ruang saling percaya --mutual trust antar stakeholder yang terlibat. Semua saling curiga, sebuah modalitas negatif dari program nasional yang bercita-cita mulia yakni memastikan pemberian layanan kesehatan bagi seluruh warga negara.
Keenam: relasi kuasa yang asimetris, dimana BPJS Kesehatan adalah pengambil keputusan secara mutlak bagi format layanan kesehatan adalah bentuk kesalahan. Reduksi probabilitas medik dan medical judgement diformulasi oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan kesesuaian biaya, bukan berdasarkan diagnosa atas symptom gejala yang muncul, karena penentuan penyakit adalah ekspertise dalam berbagai kemungkinan, bukan kalkulasi matematis yang bersifat pasti dan tidak berubah.
Ketujuh: suatu kegiatan yang disandarkan atas kecurigaan, hanya menghasilkan kecurigaan baru sebagai turunannya dan begitu selanjutnya berkesinambungan. Simulasi ini jelas tidak menguntungkan publik.Â
Bagi provider ancaman audit eksternal ini adalah soal hidup-mati, diputus dari perjanjian kerjasama atau bisa terkena denda finansial, bukan tidak mungkin terkait ijin operasional, secara ironi, justru luput dari kepastian pembayaran klaim yang sudah ditagihkan.
Secara total, langkah BPJS Kesehatan yang merupakan representasi indtrumen pemerintah kali ini jelas merupakan kesalahan. Tidak hanya dalam aspek logika, tetapi gagal memastikan timbulnya kepercayaan bahwa tujuan program ini bagi kesejahteraan publik, dibanding sekedar upaya membangun sebuah kebijakan populer atas nama publik, terlebih ini tahun politik.
Etika Publik dalam Ruang Konflik
Titik reflektif yang dapat dijadikan sebagai panduan laku dari penyelenggaraan program kegiatan dalam ranah social act ditingkat nasional adalah penguatan etika publik bagi penyelenggara negara. Selama ini kita mengenal istilah etika publik seolah sebagai proses dalam membangun relasi sosial yang menerapkan prinsip etik dalam kehidupan bermasyarakat, padahal tidaklah sedemikian.
Pada dasarnya, etika publik dalam konteks kehidupan bernegara, akan menekankan sekumpulan nilai dan norma serta prinsip moral dalam pembentukan dasar integritas pelayanan publik. Dalam soal etika publik terdapat aspek integritas, yang dimaknai sebagai sikap dan kualitas terbaik, selaras kemampuan dan kompetensi, sehingga tercipta penyelenggaraan kegiatan secara professional.
Disamping itu, etika publik juga menyoal tentang transparansi dan akuntabilitas, sebagai sendi pendukung terbentuknya tujuan dari suatu aktifitas program kerja. Dimana transparansi menyangkut keterbukaan serta akses publik untuk melihat secara jelas, sementara akuntabilitas berkaitan dengan kejelasan pertangungjawaban, sehingga pelayanan publik nantinya mengacu prinsip-prinsip tersebut sebagai dasar etika publik.