Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspada Krisis, Menjejak Dimensi Ekonomi

6 September 2018   10:12 Diperbarui: 6 September 2018   10:58 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ekonomi.kompas.com)

MEDAN Perang abad modern adalah perekonomian. Maka kini perang dagang menjadi bentuk baru, konfrontasi tanpa melibatkan kontak fisik, adu regulasi dan kekuatan diplomasi, tentu disertai dengan kepemilikan nafas panjang atas cadangan devisa selama perang itu berlangsung menjadi penentu.

Apa hubungan antara antara perang dagang dan kondisi ekonomi kita saat ini? Sebagian pengamat menyebut hal ini sebagai efek turunan dari adu kuat antara pusat negara ekonomi lama -US dan penguasa ekonomi baru -China. Disertai dengan kegagalan ekonomi di Turki, Argentina dan Venezuela menyebabkan capital outflow dari emerging market.

Banyak silang pendapat dan argumen antar para pakar ekonomi, baik yang mewakili sisi pemerintah, maupun yang kontra terhadapnya, namun perlahan tapi pasti mata uang rupiah terkulai lemah layaknya lesu darah.

Penjelasan berbasis data, telah dipaparkan oleh para pakar tersebut, tapi satu data bisa multimakna, sehingga berbeda tafsir. Meski menurut Phytagoras pengakuan atas eksistensi realitas diukur melalui angka, sehingga bersifat universal mathesis, dan objek yang tidak bisa terukur diartikan tidak eksist serta tidak nyata keberadaannya, tapi hal tersebut tidak seluruhnya benar.

Logika memegang peran penting dalam memahami realitas, diluar ukuran-ukuran. Kemampuan berpikir kritis, bukan sekedar membangun narasi berbeda, tetapi sekaligus membuka dasar persoalan, guna mendapatkan formula yang sesuai dalam penyelesaian persoalan tersebut adalah prasyaratnya. Dan pada pendekatan ini, mari kita mulai mengkonstruksi logika ekonomi dibalik fenomena lungsurnya koreksi nilai tukar rupiah atas mata uang dominan dunia, dimulai:

Makro-Mikro

Diranah ekonomi, kita mengenal aspek makro dan mikro. Secara sederhana sektor makro adalah nilai ekonomi agregat tingkat negara secara nasional, sedangkan mikro merupakan basis indikator transaksi ekonomi riil yang terjadi ditingkat masyarakat. Bisa dibilang ada beda antara pasar saham dan pasar becek, kira-kira demikian ilustrasinya.

Apakah bisa kumulatif makro berbeda dari aspek mikro? Bisa saja, disebut anomali. Kalau acuan besar dalam arah anggaran negara berbasis ukuran makro yang selama ini tampak sesuai target, bagaimana dengan gejala dilapangan mikro? Adakah kelangkaan barang? Apakah harga-harga melambung? Bagaimana pola belanja masyarakat?. Anda tentu dapat menilai.

Bila kemudian berbeda antara makro dan mikro yang disebut sebagai anomali tadi, apakah ada hal yang disembunyikan? Bisa iya bisa juga tidak, tapi satu hal yang pasti, ada kegagalan membangun relasi antara kebijakan makro dan mikro secara saling terkait.

Pasar basah nampak adem ayem tidak bergairah layaknya dinamika pasar saham, serta tidak merepresentasikan indikator makro yang aman-aman saja. Jadi? Peran kebijakan penting untuk melakukan sinkronisasi dan sinergi antar sektor makro-mikro.

Fundamental-Psikologikal

Hal lain yang juga dikemukakan adalah faktor fundamental dan psikologis, sebagai pembentuk kondisi pasar. Jika aspek fundamental berbicara tentang hubungan tendensi jual-beli secara langsung, maka persoalan psikologis berbicara tentang perilaku atau hal-hal non riil, sehingga rumor dan isu menjadi sensitif pada sebuah pasar.

Misalnya kelangkaan adalah kondisi siklik dari perubahan permintaan dan penawaran, harga akan terbentuk secara rasional diantaranya. Bila diboboti dengan situasi psikologis, maka harga bisa jadi liar diluar kewajaran, bisa jadi ulah spekulan yang mengail untung dalam kesempitan.

Saat ini, kita berhadapan dengan faktor politik baik di dalam maupunluar negeri, yang memberi pengaruh langsung ataupun tidak langsung atas soalan ekonomi, jadi perlu pengelolaan yang lebih baik dalam hal ini.

Siapa yang akan terlibat? Posisi berperannya stakeholder politik, mulai dari pemerintah dan legislatif melalui instrumen kebijakan, serta partai politik beserta elit yang berkepentingan terhadap upaya menggalang kepentingan bersama, termasuk diantara simpatisan lovers and haters yang akhir-akhir ini semakin terpolarisasi dalam dua kubu yang seolah berjarak.

Produksi-Konsumsi

Pertumbuhan domestik, ditengarai lebih ditopang oleh aspek konsumsi, sesuatu yang hasilnya juga baik bagi situasi ekonomi. Dilain sisi, kapasitas produksi lokal untuk kebutuhan konsumsi dasar tidak terbangun dengan kokoh. Asumsi yang ditawarkan adalah dibandingkan produksi lokal dengan harga harga yang tinggi, maka menjadi agen penjual perantara dari luar negeri justru lebih menguntungkan, karena harga yang murah.

Logika ini harus didekonstruksi, karena menjadi pedagang antara dan melepas potensi kemampuan produksi membuat kita menjadi bergantung pada pihak lain, yang kemudian rentan untuk mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Bagaimana dekonstruksinya? Regulasi investasi, insentif dunia usaha dan kepastian waktu dan biaya perijinan diluar intervensi logika kekuasaan dan popularitas politik.

Pilihan pembangunan infrastruktur sudah menjadi faktor jangka panjang, dan hal itu akan berdampak baik bila dilakukan secara bijaksana. Prioritas pembangunan disusun, karena keterbatasan sumber finansial yang dimiliki, dan proses pembangunan berkelanjutan tidak hanya melihat dalam kurun waktu yang pendek tetapi bisa menjadi program multiyears pada periode selanjutnya. Prinsip pembangunan tentu bukan sulap dan sihir seperti membangun prasasti monumental layaknya candi Prambanan.

Eksport-Import

Menjual bahan mentah membeli barang jadi, ataukah menjual barang jadi dan membeli bahan mentah? Pilihan eksport maupun import harus diposisikan pada kemampuan ekonomi yang saat ini ada dan yang akan dikembangkan kemudian hari.

Kekayaan sumberdaya alam kita melimpah, tetapi hanya berfokus pada jualan raw material dan tidak memberi nilai tambah, akan berpotensi loss gain, fase adopsi teknologi harus terjadi.

Sementara itu, high tech product yang menggunakan basis sistem produksi yang terlalu tinggi memang masih menjadi persoalan. Tetapi untuk produk yang berbahan baku lokal, arah pembangunan harus menuju kepada penguatan kapasitas kemampuan produksi internal, mengatasi ketergantungan import dan memberi nilai tambah atas produk.

Pun kelebihan yang spesifik bisa dijadikan sebagai penguat transaksi eksport, dalam logika persaingan, maka kita akan masuk ke negara-negara yang memiliki peluang pasar yakni terdapat kebutuhan yang bersesuaian dengan hasil produk kita. Target dalam jangkauan dekat wilayah Asia dan Afrika mungkin masih bisa digarap, dengan melihat peluang yang ada.

Bagaimana import? Pada beberapa kasus, importase justru terjadi karena kegagalan sistem dalam kolektif data, sekalilagi angka-angka yang terkonsolidasi tidak bisa terverifikasi, bisa jadi terdapat arah pengambilan keputusan dan kebijakan yang salah dari kekeliruan pembacaan data.

Tidak menutup kemungkinan adanya peluang pemburu rente dari kebijakan yang diambil, sehingga rumusan keputusan menjadi persoalan baru. Barang import melimpah, harga turun, tetapi daya beli tidak kunjung membaik, khususnya disektor pangan, para petani justru bisa sangat mungkin dirugikan.

Bauran Kebijakan

Kalau sudah begini, apakah krisis terjadi? Ada adagium &what doesn't kill you makes you stronger& ada benarnya, tapi menderita berkepanjangan membuktikan bila kita tidak juga belajar dari kondisi historis yang pernah dialami bangsa ini. Angka, data, fakta bisa diperdebatkan, bisa jadi karena indikator kuantitatif juga tidak lepas dari error dan upaya manipulasi. 

Apakah kita sedang krisis? Dilihat dari soal currency sudah seharusnya waspada, meski kekhawatiran berlebih juga justru memperdalam ruang ketidakpercayaan. Mungkinkah krisis? Bisa jadi, bila kita abai dengan tanda dan gejala yang nampak. Pengalaman medio '98 terjadi krisis ekonomi yang kemudian berimbas pada konsisi krisis multidimensi, fundamental ekonomi yang disebut kuat hanya nampak seperti rumah kertas yang tertiup angin.

Bukankah kini kondisinya berbeba? Kehati-hatian adalah prinsip yang dikembangkan baik dalam kondisi normal maupun ekstrim. Pemangku kebijakan pun harus paham bila &pujian kerap melanakan, sementara kritik membuat kita terjaga&, sikap resisten dan antikritik, jelas menunjukan wajah sejati kekuasaan atas potensi kebenaran diluar dirinya. Sebaiknya diterima sebqgai konsekuensi alam demokrasi, termasuk untuk dapat dipertimbangkan.

Beberapa hal diatas, adalah titik awal cermatan yang perlu diperhatkkan,perlu bauran kebijakan,dan para elit yang berkuasa baik di pemerintahan dan legislatif harus bersama membumikan kebijakan yang substansial. Bersikap pasif dan menunggu perubahan organik, adalah kesia-siaan. Bertindak antisipatif yang over reaktif tanpa basis yang kuat pun menjadi kehampaan. Jadi bagaimana? Siapkan strategi terukur, dalam logika membangkitkan kemampuan mesin ekonomi nasional pada orientasi awal kebutuhan dasar konsumsi nasional yang akan terus dikembangkan seiring horison waktu.

Bagaimana peran swasta? Pasti akan dilibatkan, yang terpenting adalah komitmen politik pemerintah dan arah kebijakan yang supportif, mungkinkah? Semua berpulang pada konsep dan cara pandang kita terhadap masalah ekonomi kita hari ini, hanya berpikir sebatas durasi masa jabatan atau mempersiapkan kebangkitan bangsa dalam waktu yang panjang dimasa depan. Siapapun pemimpinnya, menundukkan letak atas masalah serta solusi perekonomian ini, jelas tidaklah mudah!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun