Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Disiplin Kesakitan dan BPJS Kesehatan

28 Agustus 2018   11:48 Diperbarui: 28 Agustus 2018   11:57 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepanjang sejarahnya, manusia berupaya untuk berlaku sehat. Mengapa? Menurut Ritzer, hal ini karena memang ilmu kedokteran dilahirkan dan menempatkan manusia (pasien) sebagai bagian dari sistem klasifikasi yang kemudian menjadi diskursus yang berkembang tidak hanya kepada yang sakit tetapi juga pada manusia yang sehat (pencegahan), dimana individu dalam keberadaannya menjadi subjek dan objek ilmu pengetahuan berdasarkan struktur pokok pengalaman.

Dalam makna denotatif, ilmu kedokteran dikembangkan melalui nalar ketakutan yang menyangkal serta berupaya mengeliminasi kematian, dengan membayar kegelisahan tersebut.

Lebih jauh lagi, Boudrilard menyebutkan bahwa tubuh menjadi bersifat fungsional dan pribadi. Hal itu mengakibatkan permintaan berlebih akan layanan medis, diluar hak akan kesehatan sebagai syarat biologis, tetapi juga berkaitan dengan nilai yang menjadikan tubuh bersifat praktis dan individual. Karakter individual tersebut, menyebabkan posisi dokter tidak ubahnya bak imam yang menjadi pemegang tafsir tunggal atas kondisi kesehatan tubuh pasien.

Bahwa rumah sakit, selayaknya Foucault, menyatakan sebagai bentuk dari pengujian -l'examen yang merupakan panduan dari teknik pengawasan hierarkis dan normalisasi. Hal ini berakibat dalam perspektif pasien (a) dokter adalah otoritas eksternal yang mengambil peran yang ditentukan terhadap rumah sakit, (b) rumah sakit menjadi tempat relasi pengetahuan dari sebelumnya sebagai tempat pertolongan sehingga membalik relasi kuasa atas tubuh.

Dengan demikian keberadaan pengujian -l'examen dalam ilmu kesehatan mengubah bentuk ekonomi tontonan menjadi pelaksanaan kuasa, dimana individu masuk dalam wilayah dokumentasi dan menjadikan individu sebagai suatu kasus. Konsepsi kesehatan dekat dengan wilayah kematian dan kengerian sebagai bagian dari proyeksi kematian itu sendiri.

Tetapi hal ini selaras dengan apa yang diungkap Viktor Frankl, yang menempatkan manusia sebagai makhluk fana (mortal being) yang akan berhadapan dengan makna penderitaan sebagai bagian yang terintegral dari eksistensi manusia itu sendiri. Persoalannya kini siapa yang harus menanggung konsekuensi derita dari rasa kesakitan menjelang kematian tersebut?.

Menghantarkan Kritik

Dengan demikian, apakah angka keberhasilan yang diklaim tersebut telah menuntaskan pembebasan penderitaan atas kesakitan menjelang kematian dapat dinilai dengan jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan yang semakin meluas? Ataukah kondisi defisit operasional yang terjadi ditubuh yang sakit dalam institusi BPJS Kesehatan merupakan kegagalan sesungguhnya yang tertutup oleh bias citra yang ditampilkan melalui angka-angka tersebut?. Kita jelas perlu melakukan kritik.

Tentu kita tidak perlu bersikap antipasti terhadap kritik, karena intoleransi pada sebuah kritik dapat berakhir pada otoritarianisme. Kritik, sebagaimana Eagleton, adalah perlawanan yang bersifat membongkar tabir terelubung, tidak seperti tuan pengawas, maka kritikus akan melihat lebih jeli dan melaporkan apa yang dipelajarinya dari dunia itu sampai pada para partisipan yang sibuk.

Apa kritik besar dari pelaksanaan BPJS Kesehatan ini? Ketika kita memiliki kesepahaman yang sama terkait pertolongan atas penderitaan akibat kesakitan sebagai perasaan bersama yang komunal, maka atas dasar itu pulalah konsep pembiayaan kesehatan harusnya diterapkan, yakni memberikan bantuan bersama sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan.

Jika hal ini ditelusur dari akar budaya kita, maka salah satu faktor kebudayaan yang mendukung daya gerak dalam menghasilkan budaya itu sendiri adalah biome, yakni alam lingkungan organis manusia yang dapat ditingkatkan menjadi nilai budaya diantaranya hygiene, biologi dalam ranah ilmu kesehatan, bersama ekologi termasuk demografi. Dan sesungguhnya sikap gotong royong, berkerjasama merupakan nilai yang terbangun didalam entitas kebudayaan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun