Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mendadak Survei dan "Polling" Politik

22 Agustus 2018   13:58 Diperbarui: 22 Agustus 2018   17:29 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay.com)

Suasana politik kembali menghangat. Hal ini terkait dengan proses Pemilu 2019 yang akan menjelang. Hampir sekitar 8 bulan kedepan kita akan melihat wajah terpilih hasil proses demokrasi ditanah air yang akan mendapat mandat politik dalam lima tahun mendatang. 

Sesaat setelah nama pasangan capres-cawapres mendaftar, dan terdapat dua pasangan yang akan berkontestasi di Pilpres 2019, maka berbagai lembaga survei bergerak untuk melakukan riset terkait.

Maklum saja, pasangan nama yang terbentuk, diluar radar semua lembaga survei di Indonesia. Sehingga proses simulasi terhadap ukuran popularitas, akseptabilitas hingga elektabilitas terhadap kedua pasangan tersebut belum didapatkan. Meski untuk penilaian atas figur individual khususnya untuk nama-nama yang ditempatkan sebagai capres sudah pernah dilakukan studi, namun tentu hasilnya berbeda ketika diduetkan bersama dengan cawapres terpilih.

Harus dipahami, survei adalah metode statistik, sangat matematik. Pendekatan ilmu pasti, ditempatkan untuk melakukan pengukuran dalam bidang sosial. 

Secara keilmuan, survei diberbagai belahan penjuru dunia, menjadi perangkat awal untuk melakukan pemetaan sekaligus melihat indikator kuantitatif dari sebuah subjek yang hendak diteliti. Pada bidang sosial, termasuk politik, survei bukan penentu kemenangan, namun dapat digunakan sebagai panduan ilmiah.

Sebuah survei, dilakukan dengan mengambil sampel yang dinyatakan representatif dalam mewakili perilaku populasi. Hal ini, tentu terkait dengan metode yang dipergunakan. 

Disamping itu, survei juga membutuhkan sumberdaya yang cukup, diantaranya: jumlah peneliti lapangan, sampling responden, waktu wawancara, pengolahan data, hingga membangun kesimpulan akhir, tentu juga secara keseluruhan akan terkait dengan biaya penyelenggaraan survei itu sendiri.

Dengan demikian, survei yang metodologinya mampu dipertanggungjawabkan, akan membuka proses yang dipergunakan, termasuk transparan dalam persoalan biaya kegiatan. Lebih jauh lagi, sesuai dengan kerangka prosedur, maka pelaksanaan survei akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, ketergesaan dalam survei akan berkonsekuensi pada peningkatan margin of error. Hal yang terakhir ini, akan membuat proses kesimpulan akhir justru akan bernilai salah.

Mungkinkah survei salah melakukan prediksi? Jelas sangat mungkin, jika salah dalam sampling, metodologi tidak sesuai, penarikan kesimpulan keliru, waktu yang terlalu singkat, hingga tenggat waktu survei hingga aktifitas riilnya terlalu jauh, bahkan akibat pembiayaan spesifik -baca: pesanan. Survei merupakan proses simulasi, akan berdampak jika diboboti dengan pembentukan opini publik yang menyertainya, sehingga kesimpulan bisa sangat mungkin diarahkan untuk tujuan tertentu.

Proses paparan survei dibarengi dengan ulasan pembahasan para pengamat, yang kemudian diamplifikasikan melalui ruang publik serta publikasi media massa akan memerikan pengaruh, mulai dari level kognitif --pengetahuan, afektif--emosi, hingga konatif -tindakan. Jangan heran kalau kemudian akan banyak lembaga survei yang bermunculan bak cendawan dimusim hujan.

Pastikan lembaga survei yang rilisnya sampai dihadapan Anda, memiliki track record dan kredibilitas yang baik. Lihat pula figure dan afiliasi tokoh dibelakangnya bila tidak terlalu transparan dalam mengemukakan metodologi dan pembiayaan surveinya. Jangan telan utuh tanpa skeptisisme, karena keraguan adalah cara dalam mengkonfirmasi kebenaran dan pengetahuan.

Polling: Hutan Belantara Statistik 

Dalam survei, metode polling dikenal sebagai short survey, dimana prosesnya dilakukan secara cepat, dengan pertanyaan tunggal, bersifat terbuka. Dengan demikian, hasil yang diperoleh akan bisa langsung memberikan kesimpulan secara statistik. 

Polling tetap sahih sebagai sebuah metode jika terukur dalam sampling, polling terbuka terlebih online bisa sangat tinggi nilai error yang terjadi. Tujuan akhirnya sama seperti layaknya survei, sebagai upaya menggalang opini publik.

Dengan begitu, polling relatif rendah nilai kebenaran hasilnya. Ibarat rimba belantara, polling tidak mengunci indikator sampling, pembatasnya hanya waktu polling. Jadi, siapa saja bisa berpartisipasi. Termasuk proses politik di Indonesia bisa diikuti pollingnya melalui bot yang basis kedudukannya diluar teritori lokal.

Apalagi polling dilakukan melalui sosial media. Diakun milik "si anu" akan terpilih "si anu" sebagai pemenang polling, hasilnya akan berbeda bila dilakukan melalui akun yang berbeda pula. Tingkat konsistensi yang rendah ini bukanlah halangan yang berarti, karena faktor similaritas. 

Pengikut -baca: follower akun sosial media milik suatu figure akan terkait dengan fanbase -lovers, meski dalam perang siber akun haters juga kerap memfollow. Bahkan akun bodong, fake account bisa terlibat dalam sebuah polling.

Sehingga, jangan terlalu ambil pusing dengan hasil polling, sama halnya dengan hasil survei, terkecuali memang menggunakan metodologi statistik yang ketat dan independen dari kepentingan yang mengarahkan pada suatu hasil tertentu. Apa yang perlu diperhatikan dalam sebuah survey? Catatan-catatan kritisnya mungkin dapat menjadi pertimbangan teknis. Tetapi yang terpenting dalam upaya pemenangan kandidat adalah kerja efektif dibasis pemilih.

Citra dan opini publik akan berhadapan dengan rasionalitas pemilih, karena kini pemilih tidak dapat hanya dipandang sebagai objek pasif, melainkan menjadi subjek yang aktif dalam mencari dan membandingkan informasi. 

Dengan demikian, upaya membangun bonding dengan pemilih, mendekatkan ruang interaksi dan komunikasi dalam jarak, yang semakin memudahkan dalam aksesibilitas publik akan seorang tokoh/ figur, akan menjadi sarana efektif bagi awal yang positif mendorong pengenalan dan identifikasi calon kontestan.

Selanjutnya? Memastikan ketertarikan menuju keterpilihan hingga masuk ke bilik suara, disini perlu kerja nyata dari koalisi pengusung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun