Status diberbagai linimasa sosial media heboh, kali ini soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga BBM domestik menyesuaikan dengan harga ekonomis komoditas tersebut dilevel internasional.
Tentu kegaduhan dalam bidang ekonomi itu -soal kenaikan harga komoditas, juga dikorelasikan dengan aspek politik, sesuatu yang wajar saja mengingat tahun politik telah menjelang.
Publik pun kembali terbelah, sebagian mempertanyakan keputusan yang dirasakan tidak tepat secara momentum, disisi yang berbeda kebijakan tersebut dianggap tepat mengatasi arus kas defisit dari penjualan BBM yang lebih rendah dari nilai keekonomiannya.
Melalui kajian atas kebijakan publik, terkait studi kasus kenaikan harga BBM, maka ada banyak hal yang dapat dipelajari. Dan hal itu penting, agar publik memahami posisi dan peran pentingnya sebagai objek terdampak atas kebijakan, sekaligus menjadi subjek bagi perubahan kebijakan itu sendiri.
Kebijakan publik adalah bagian dari mekanisme decision making -pengambilan keputusan atas pemetaan sebuah masalah, maka identifikasi persoalan yang substansial menjadi penting sebelum opsi solusi dimunculkan.
Sebagian kalangan menilai, kenaikan harga BBM adalah hal yang normal mengingat kita mengikuti harga minyak dunia, dan tidak perlu ditanggapi berlebih, agaknya terdapat kekeliruan berpikir dalam hal ini.
Pertama: partisipasi publik sebagai bentuk keterlibatan pengambilan keputusan bagi publik itu sendiri adalah bagian dari hak warga negara, jadi sah saja beropini, mengutarakan pendapat, termasuk melakukan kritik secara kritis.
Kedua: kritik kritis harus berbasis data argumentatif? Hal ini bukan menjadi sebuah keharusan, publik bukanlah peneliti yang kuat dalam sokongan data, dan seluruh kompilasi data juga tidak mudah diakses publik, jadi kritik kritis publik bisa dibagun secara rasional dalam konteks common sense.
Ketiga: pemerintah ditunjuk dan diangkat untuk melakukan pengelolaan hajat hidup publik, dengan demikian prioritas utamanya adalah kepentingan publik dalam jangka panjang. Kenaikan harga BBM adalah kebijakan jangka pendek dengan dampak jangka panjang, menyebabkan kenaikan bagi ongkos distribusi, harga barang, nilai inflasi, lonjakan kebutuhan hidup, untuk hal itu diperlukan tinjauan utuh, pemerintah dalam hal ini justru memiliki akses terhadap keseluruhan data.
Keempat: pada barang komoditas dasar bagi publik, maka pemerintah diberi hak monopoli, maknanya bahwa pemerintah bertransaksi jual beli dengan publik, faktor public service obligation menjadi lebih utama dari sekedar profit oriented.
Kelima: ketergantungan pada BBM sesungguhnya menyebabkan kerentanan dari waktu ke waktu, sayangnya kita tidak banyak belajar, konsep Energi Baru Terbaharukan (EBT) belum juga diadopsi dalam konteks konsumsi energi nasional.