Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Opini dan Ruang Publik pada Kebebasan Mimbar Akademik

10 Juni 2018   16:14 Diperbarui: 11 Juni 2018   09:22 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangunan politik dibentuk berdasarkan konsensus atas opini publik. Dimana opini publik adalah bentuk pendapat umum sebagai gagasan khalayak atas suatu hal tertentu.

Tentu sebuah opini publik memiliki kepentingan untuk dapat mempengaruhi secara meluas keseluruhan populasi. Dan hal tersebut, dibutuhkan ruang publik yang demokratis.

Konsepsi Habermas tentang public sphere atau ruang publik dimaknai sebagai tempat pergumulan ide dan pendapat dalam kesetaraan dan keterbukaan, tanpa terdapat intervensi, tentunya mendorong proses partisipasi.

Problemnya, kekuasaan menyelusup masuk ke berbagai ruang terbuka, baik secara perlahan maupun terang-terangan.

Apa relevansinya? Ruang publik yang seharusnya sangat demokratis, terdapat pada mimbar kebebasan akademik di kampus perguruan tinggi. Namun hal tersebut urung terjadi.

Beberapa akademisi justru dianggap berbahaya karena memiliki pendapat berbeda, bisa jadi berselisih dengan versi milik penguasa.

Padahal dalam ruang akademik, semua kemungkinan disingkap untuk mendapatkan pemahaman dan perspektif secara komprehensif yang utuh dan menyeluruh.

Kekhawatiran terbesar tentunya adalah terbentuknya opini publik dari ruang publik yang disebut sebagai kebebasan mimbar akademik. Karena potensi pembentukan pendapat umum dari statemen akademisi yang melandasi gerak serta argumennya melalui pendekatan ilmiah.

Maka pembungkaman adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan, kontrol ketat atas seluruh instrumen civitas akademika terasa menjadi lebih penting dibandingkan menstimulasi peningkatan kualitas akademik secara sistematik.

Kecurigaan dan ketidakpercayaan pihak kekuasaan, tentu dapat dipahami secara jelas pada persoalan gangguan stabilitas pemerintahan, terminologi usang dalam memandang kritik sebagai penghambat ketimbang sarana perbaikan.

Padahal sejatinya, opini publik dengan seperangkat peralatan yang dibutuhkannya ada dalam genggaman kekuasaan, maka tentu publik kerapkali berada dalam kepungan opini publik yang saling bersilangan tanpa kepastian karena kerap memiliki kepentingan berseberangan.

Adakah ruang publik yang bebas nir-kepentingan kekuasaan? Tidak mudah menjawabnya, penguatan modalitas sosial melalui ruang publik kini lebih banyak difasilitasi pada dunia maya.

Walaupun tidak sepenuhnya bebas kepentingan, dunia maya memberi peluang untuk keberimbangan playing field, meski tidak ada jaminan pemberangusan.

Lalu bagaimana dengan kebebasan akademik? Adakah peluang merevitalisasi? Hanya mungkin ketika struktur negara sebagai instrumen kekuasaan dipisahkan dari kekayaan akademik dan ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya mungkinkah hal tersebut terjadi? Karena pendidikan secara formal terstruktur melalui lembaga-lembaga dalam naungan kekuasaan, pilihannya tentu terdapat pada keberanian parapihak dalam ruang publik untuk konsisten dalam membongkar hegemoni dominan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun