Dengan demikian, penggunaan simbol identitas dalam bentuk atribut akasesoris sampai ketokohan adalah hal yang terbilang biasa dan normal.
Pelarangan dalam hal tersebut, hanya dapat dibenarkan bila simbol tokoh merupakan figur yang dikategorikan terlarang dan dilarang, semisal penjahat negara atau buronan, tentu tidak berlaku bagi seorang berkategori pahlawan nasional.
Jadi, interaksi simbol dan identitas dalam kasus ini semestinya menjadi lumrah, lantaran sang tokoh, adalah bagian dari ideolog partai tersebut.
Uniform; Spirit de Corps!
Ketiga; pada kasus dinamika kelompok pengemudi online berseragam, yang kemudian viral di sosial media, saat mengambil tindakan langsung pada pengemudi lain yang dianggap bersalah.
Diluar aspek keterbatasan persoalan yang melatarbelakangi, ataupun menempatkan konteks tentang benar-salah yang tampak ragu-ragu, maka pada kasus tersebut, interaksi simbol atas identitas, seolah menjadi perekat kebersamaan akan rasa senasib sepenanggungan.
Simbol dan identitas menjadi penanda dari solidaritas, persaudaraan dan kekeluargaan. Sebuah seragam, pada hakikatnya menjadi sarana pembeda, melekat didalamnya identitas pengguna. Melalui seragam, tanggungjawab pun berbeda, bisa ditambahkan lencana.
Semangat korps, kerapkali muncul dalam keseragaman. Keberanian komunal sering tampil dalam kelompok, lalu kemudian salah kaprah dimaknai sebagai pembenaran dan kebenaran, hak ini berpotensi friksi dan konflik secara nyata, saat bertemu kelompok lain.
Keberanian saat berseragam dan berkelompok, dapat terjadi dimana saja dalam kehidupan kita.
Lantas apa pembelajaran terpenting dari identifikasi simbol dan indentitas tersebut?
Bahwasannya, simbol dan identitas adalah bagian dari keberagaman dalam kehidupan sosial kita. Hal ini yang perlu kemudian disadari, sebagai kekayaan bersama. Potensi kegagalan akan peran positif dari simbol dan identitas, manakala simbol dan identitas itu kemudian ditonjolkan sebagai narasi atas kebenaran sosial nan tunggal, lantas mempersalahkan pihak lain.