Problemnya, pada sisi yang berlawanan, pihak diluar pengguna cadar dan komunitasnya, mempersepsikan bila cadar adalah bentuk dari pengakuan kebenaran tunggal.
Hal tersebut, kemudian memantik kesalahpahaman lanjutan, terjadi kekhawatiran hilangnya eksistensi publik, diluar pemakai cadar dan komunitasnya.
Lebih buruknya, kehilangan eksistensi tersebut, kemudian diasosiasikan dalam bentuk tindakan ekstrim terorisme, sebagaimana citra Islam yang ditampilkan secara eksploitatif pada berbagai media.
Pesona ke-Islam-an yang damai kemudian seolah diruntuhkan hanya karena terpakainya cadar, padahal keberadaan cadar adalah bentuk kepasrahan di dalam agama Islam, akan aturan yang menjadi ketentuan dari pemilik kehidupan.
Tentu pada kasus ini, perguruan tinggi yang kemudian malah melakukan pelarangan akan penggunaan cadar tersebut, kurang dalam meluaskan pemahaman pandangan akan simbol identitas tersebut.
Jelas, kampus perguruan tinggi harus memiliki ruang ekspresi kebebasan akademik yang ilmiah, meski secara bersamaan mempunyai filter akan guna menyaring pemahaman yang salah, diluar atribut simbol tersebut.
Tokoh; simbol Gerakan!
Kedua; terkait larangan penggunaan gambar tokoh pahlawan nasional dalam kampanye sebuah partai, padahal sang tokoh adalah ideolog dan inspirator partai tersebut.
Simbol identitas, pada halikatnya adalah bentuk persetujuan ide. Dengan demikian, hal ini kan merujuk pada aspek atribut yang merepresentasikannya.
Bentuk dari simbol identitas tersebut, nantinya bisa terformat dalam bentuk gambar, warna, tagline bahkan sampai figur ketokohan.
Kesepakatan ideologi adalah bagian yang mengikat kolektif, tentu saja hal ini adalah pembentuk kesatuan organisasi, termasuk didalamnya menyangkut kehadiran seorang figur.