Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seleksi Alam Institusi Layanan Kesehatan di Era JKN

2 Maret 2018   11:02 Diperbarui: 2 Maret 2018   15:15 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: lifestyle.kompas.com

Dunia yang berubah mengharuskan proses adaptasi beelangsung secara cepat. Pun termasuk didalamnya industri layanan kesehatan. Beredar viral pemberhentian pelayanan pasien BPJS oleh institusi kesehatan, disebabkan belum terselesaikannya tagihan klaim layanan. Meski sesaat beredar, lalu disusul pernyataan permonan maaf karena hal tersebut bukanlah pernyataan resmi institusi, tetapi jelas menyisakan tanya.

Terlepas dari persoalan internal, maka melihat ekspresi diruang publik membangkitkan sensitifitas, dalam membaca indikasi persoalan. Bahwa relasi antara BPJS Kesehatan dan eksistensi institusi pemberi layanan kesehatan, adalah hal yang kini bersifat mutlak, menjelang implementasi menyeluruh secara nasional di 2019.

Kaitan persoalan terbesar dalam keterhubungan tersebut, adalah timpangnya bargaining position antar para pihak, yakni penyelenggara program, penerima manfaat dan pemberi layanan. Penyelenggara program menjadi pembeli tunggal, sementara pemberi layanan kepada end user adalah operator institusi medis. Pada ruang tersebut, dominasi kuasa terletak pada posisi pembeli.

Apa yang dibaca pada kasus viralitas foto tersebut?

Pertama: penyelenggara memiliki problem pengelolaan pendapatan premi dan pembayaran klaim. Mismatch berakibat defisit dan ketersendatan pembayaran klaim.

Kedua: pemberi layanan bergantung pada arus pasokan pasien dalam program prakarsa pihak penyelenggara. Relasi asimetri alias tidak seimbang ini, membuat pemberi layanan harus tunduk dalam berbagai aturan.

Siapa yang menjadi pihak tersudutkan dalam pertalian relasi tersebut?

Pertama: pasien, karena keterhambatan pemberian pelayanan. Hal tersebut dikarenakan, pemberi layanan menjadi bersikap lebih hati-hati, khususnya dalam penanganan pasien.

Kedua: pemberi layanan, karena diasumsikan menolak pasien. Padahal tidak demikian, selama komitmen dalam mekanisme pembayaran klaim tepat dilakukan, tentu layanan akan semakin berkembang.

Ketiga: penyeleggara program itu sendiri, sebagai konsekuensi akan imej ketidakcakapan melakukan pengelolaan, yang seharusnya menciptakan relasi secara sinergis antar parapihak.

Bagaimana seharusnya reposisi seimbang dalam relasi ini?.

Pertama: menempatkan proporsi persoalan dalam kerangka kapasitas kemampuan riil, dalam arti kesanggupan pengelolaan. Dengan demikian, premi akan ditetapkan atas dasar asumsi yang presisi dan spesifik sesuai nilai keekonomian.

Kedua:meletakkan kemampuan pembayaran kewajiban klaim institusi kesehatan sebagai hal penting, tidak bisa diabaikan. Terlebih bagi yang termasuk kategori pemberi layanan swasta, karena kategori ini, membiayai secara mandiri pelaksanaan operasionalnya.

Ketiga: melakukan percepatan integrasi nasional dan peningkatan kedisiplinan pembayaran premi. Bila pengeluaran atas pelayanan kesakitan adalah sesuatu yang sulit diestimasi, maka penerimaan adalah faktor yang dapat dipastikan.

Keempat: perbaikan mekanisme atas pengaturan manfaat yang prioritas, serta mendorong kemandirian dalam menjaga kesehatan masyarakat. Dengan demikian iur biaya individu dalam model asuransi gotong royong mungkin dilakukan, mengingat jumlah kepesertaan dan tingkat angka kesakitan yg tinggi.

Kelima: mendorong efektifitas dan efisiensi proses pengelolaan, sesuatu yang menjadi keharusan, agar manfaat keberadaan program dirasakan oleh publik dan bukan pengelola.

Apakah artinya kesimpulan terpenting bagi institusi kesehatan swasta dalam kasus ini?

Pertama: mempersiapkan diri dalam turbulensi krisis yang berulang. Peraturan dan harga tarif menjadi kuasa penyelenggara program, maka tidak banyak pilihan kecuali menerima. Karena itu siapkan kapal sekoci bila kapal utama mulai oleng.

Kedua:dalam proyeksi lanjutan, melalui instrumen institusi kesehatan dibawah kepemilikan pemerintah pusat maupun daerah serta BUMN, akan semakin memperkuat diri, menyambut implementasi BPJS Kesehatan secara menyeluruh, petakan Blue Ocean sebisa mungkin sebagai peluang yang harus digarap serius.

Ketiga: kolaborasi konglomerasi, khususnya bagi institusi kepemilikan swasta non konglomerasi mungkin perlu mempertimbangkan hal tersebut, karena kemampuan bertahan dimasa depan akan tergantung kapasitas kedalaman support finansial.

Kapankah ini akan terjadi?

Bila melihat dari informasi yang tidak terekspose ke permukaan, hal ini sudah menunjukkan gelagatnya, karena itu penyiapan strategi bisnis perlu diperkuat menghadapi perubahan ini.

Karena kemampuan beradaptasi adalah metode yang mumpuni dalam menghadapi fase seleksi alamiah.

Dalam konteks kompetisi dan aspek eksternal yang berubah, maka perubahan adaptif dimulai dari kesiapan diri kita sendiri.

Semoga menjadi renungan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun