Kedua: basis dasar bangunan kerjasama tersebut adalah terbentuknya mutual trust untuk bersinergi. Sikap terbuka dan saling percaya bersifat wajib.
Problem utamanya saat ini, dalam dunia yang instant kita hidup dalam kecepatan, bahkan terburu-buru. Semuanya, merasa menjadi prioritas. Penanganan medis memiliki basis indikasi penentuan prioritas yang berbeda dari persepsi publik, sesuai kondisi medis pasien.
Masalahnya, teknologi menjadi medium yang cepat menyebarkan kabar buruk. Sementara, keberhasilan pelayanan hanya menjadi konsumsi pribadi, maka ketidakpuasan diumbar menjadi tontonan khalayak.
Dalam bahasa bisnis, ketidakpuasan adalah rasio perbandingan harapan atas realita, atau dapat pula merupakan nisbah antara benefit yang diterima dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Hal ini bisa bermakna ganda.
Ekspektasi yang diharapkan bisa jadi berlebih, terutama bila berasumsi kesembuhan dapat dipastikan secara mutlak oleh pelayanan medis. Sementara disisi yang lain, bisa jadi terdapat kekurangcakapan kompetensi dari pemberi layanan kesehatan.
Sepintas, keduanya tampak terlihat pada studi kasus di RS Dr Sutomo, kegagalan dalam memberikan penjelasan atas alasan kekosongan, langsung direspon secara emosional oleh kedua belah pihak. Perlu diperdalam duduk perkaranya, agar tercipta harmoni kerjasama.
Kunci utama dalam membangun kesepahaman dalam dunia kesehatan adalah menempatkan empati masing-masing pihak. Berpikir dalam posisi terbalik, mengandaikan pasien adalah keluarga dekat -bagi pemberi layanan, atau memahami load aktifitas dari seorang tenaga kesehatan  -untuk penerima layanan.
Lebih jauh, kita secara keseluruhan, memang kekurangan kesabaran untuk bisa membangun komunikasi jauh lebih baik!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H