Babak belur dan terpuruk! Demikian nasib tenaga kesehatan dewasa ini. Seolah tiada henti, ketidakpuasan publik akan layanan kesehatan di negeri ini.
Beredar viral komplain keluarga pasien dalam mendapat layanan pada unit bank darah di RS Dr Sutomo.
Pada berbagai situs, kejadian tersebut terjadi karena kekosongan pelayanan. Keluarga pasien menganggap hal itu sebagai ketidaksigapan.
Persoalan ini bisa dipandang dari banyak sisi, termasuk pada kacamata persepsi customer maupun dalam konteks definisi mutu pelayanan.
Kejadian tipikal yang terus muncul, sesungguhnya dapat seolah-olah menimbulkan citra negatif bagi profesi tenaga kesehatan, serta mengandung berbagai potensi turunan:
Pertama: reproduksi kisah ketidakpuasan mempertebal persepsi tentang rendahnya kompetensi dan kualitas pelayanan kesehatan domestik, di memori publik.
Kedua: citra negatif yang semakin melekat tersebut, menyebabkan tumbuhnya ketidakpercayaan, dan penuh kecurigaan, terutama saat membutuhkan pelayanan kesehatan.
Ketiga: atas kecurigaan, maka masing-masing pihak bersikap defensif dalam mempertahankan haknya, sekaligus offensif menyerang kesalahan pihak lain.
Keempat: bila situasi ini berlangsung berkelanjutan, maka tidak akan tercipta suasana kondusif, yang mampu menstimulasi percepatan kesembuhan.
Sebagai penyeimbang, maka saya hendak memposisikan diri sebagai bagian dari tenaga kesehatan, khususnya dalam memberikan pelayanan kesehatan dari sudut pandang yang berbeda.
Pertama: relasi terapeutik, yang berorientasi terapi bagi kebaikan pasien, adalah komitmen bersama pada proses penanganan. Dengan demikian, membutuhkan kerjasama seluruh pihak, termasuk pasien dan keluarga pasien.
Kedua: basis dasar bangunan kerjasama tersebut adalah terbentuknya mutual trust untuk bersinergi. Sikap terbuka dan saling percaya bersifat wajib.
Problem utamanya saat ini, dalam dunia yang instant kita hidup dalam kecepatan, bahkan terburu-buru. Semuanya, merasa menjadi prioritas. Penanganan medis memiliki basis indikasi penentuan prioritas yang berbeda dari persepsi publik, sesuai kondisi medis pasien.
Masalahnya, teknologi menjadi medium yang cepat menyebarkan kabar buruk. Sementara, keberhasilan pelayanan hanya menjadi konsumsi pribadi, maka ketidakpuasan diumbar menjadi tontonan khalayak.
Dalam bahasa bisnis, ketidakpuasan adalah rasio perbandingan harapan atas realita, atau dapat pula merupakan nisbah antara benefit yang diterima dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Hal ini bisa bermakna ganda.
Ekspektasi yang diharapkan bisa jadi berlebih, terutama bila berasumsi kesembuhan dapat dipastikan secara mutlak oleh pelayanan medis. Sementara disisi yang lain, bisa jadi terdapat kekurangcakapan kompetensi dari pemberi layanan kesehatan.
Sepintas, keduanya tampak terlihat pada studi kasus di RS Dr Sutomo, kegagalan dalam memberikan penjelasan atas alasan kekosongan, langsung direspon secara emosional oleh kedua belah pihak. Perlu diperdalam duduk perkaranya, agar tercipta harmoni kerjasama.
Kunci utama dalam membangun kesepahaman dalam dunia kesehatan adalah menempatkan empati masing-masing pihak. Berpikir dalam posisi terbalik, mengandaikan pasien adalah keluarga dekat -bagi pemberi layanan, atau memahami load aktifitas dari seorang tenaga kesehatan  -untuk penerima layanan.
Lebih jauh, kita secara keseluruhan, memang kekurangan kesabaran untuk bisa membangun komunikasi jauh lebih baik!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H