Jadi, dibanding mencari kesalahan, sebaiknya berfokus pada akar permasalahan dan solusi atas dampak yang terjadi. Komunikasi dan kordinasi lintas pemerintah daerah perlu dibangun secara sinergis, termasuk keterkaitan pembangunan antar daerah khususnya supporting Ibukota.
Lantas apa yang menjadi penting untuk diperhatikan, khususnya dalam respon terhadap suatu bencana?. Titik beratnya ada pada perilaku pemimpin. Kemampuan leadership, terlihat dalam kemampuan menterjemahkan bencana,sebagai sarana berkomunikasi baik langsung maupun melalui gesture kepada publik secara meluas, terutama bagi masyarakat yang terkena dampak bencana tersebut.
Pemimpin terpilih, dalam kondisi apapun, meski melewati rivalitas pemilihan yang sengit sekalipun, tetaplah pemilik sah kekuasaan, dan diberi mandat kewenangan. Dan dalam posisinya sebagai pemimpin bagi semua warganya, termasuk kelompok yang tidak memilihnya.
Menjadi pengayom dan pelindung, dengan demikian sikap asih dalam kelembutan hati bagi korban bencana perlu ditampilkan. Sementara, pada sisi yang bersamaan, berlaku cekatan dalam respon mengatasi bencana perlu ditunjukkan dan dilakukan.
Pemimpin, harus menjadi role model, menjadi inspirasi sekaligus mampu menyerap aspirasi. Termasuk membawa kesejukan serta kedamaian, dan disaat lain bisa menjadi tegas bukan sekedar galak. Â
Branding dalam Bencana
Pencitraan adalah kata yang saat ini semakin mudah dipahami public. Problemnya, hal itu menjadi bermakna konotatif, bila berada dalam ranah politik. Benarkah demikian? Lalu apakah dalam momen seperti bencana banjir bisa -dalam artian etik, sebagai sarana branding?.
Persoalan pencitraan adalah hal yang lumrah diera esteem ecosystem digital. Kehendak untuk tampil bagi seorang pejabat public adalah keharusan, untuk dikenal secara luas. Bahkan penampilan figur public, dalam jabatan politik pemerintahan adalah bagian transparansi.
Problemnya adalah tidak berlebihan berimbang. Kerja nyata, diboboti pencitraan, harus berlangsung dibanyak sisi kehidupan pejabat publik. Karena tokoh public, menjadi milik public sehingga hanya menyisakan sedikit ruang private yang personal, untuk diketahui masyarakat.
Ruang publik menjadi lebih dominan, dalam kehidupan petinggi pemerintahan.
Lalu, apakah etis bila dilakukan dalam kondisi bencana? Ini sangat bergantung bagaimana standar nilai yang Anda tetapkan tentang batas norma kesopanan. Secara pribadi, sebagai bagian dari kerangka komunikasi, maka semua momentum sesungguhnya dapat dijadikan sebagai bagian dari pencitraan, dan wajar-wajar saja.