Malam itu, di tengah kemacetan yang luar biasa padat pada jalur utama, akhirnya kami menempuh jalan alternatif.
Wilayah yang dilalui adalah kawasan area remang-remang, lengkap dengan berbagai ekosistemnya.
Tidak jauh dari area yang hingar bingar, dengan kedipan lampu disko dan lagu dangdut koplo itu, terlintas sebuah sekolah dasar dan kantor kelurahan.
Apa boleh buat, itu jalur alternatif menembus kemacetan yang menggila.
Lokasinya tidak seberapa jauh, hanya selemparan batu saja. Rasanya mustahil, kawasan itu, tidak terlihat dan luput dari perhatian.
Mungkin karena jam operasionalnya berbeda, bisa jadi seolah ada dua dunia, dalam sebuah kawasan yang sama.
Ironi Tersamar
Fenomena itu, seolah menghampar dalam realitas kehidupan kita dalam sebuah ambigu. Pendidikan dan pemerintahan, bersandingan dengan potensi kemunduran moralitas.
Kantor kelurahan dan sekolah dibuka pada pagi, sementara wilayah remang-remang itu membuka dirinya di larut malam hari.
Institusi pengajaran moral masa depan ditingkat dini, melalui pendidikan dan sekolah, berhadapan dengan aktifitas geliat "ekonomi malam".
Mungkin kini persoalan moralitas, hendak dilepaskan menjadi urusan dan persoalan individual. Bisakah demikian?. Rasanya sulit, karena kota termasuk mahluk sosial dalam kelompok masyarakat.
Situasi ini, menggambarkan adanya dilema etis. Sebuah kondisi yang diperhadapkan pada pilihan-pilihan sulit, khususnya yang berkaitan dengan pertentangan nilai etika.
Etika sendiri bukan sebuah hukum formal tentang benar-salah dengan perangkat hukuman, tetapi kerangka kepatutan dalam kehidupan bermasyarakat.
Beretika bukan soal persetujuan mayoritas. Tetapi ada kaidah keluhuran akal budi yang bersanding pada moral.
Kita memang tidak bisa menjatuhkan duduk benar-salah pada kasus tersebut, tetapi jelas ada andil kesalahan sosial yang dibuat. Sejak jaman dahulu, protitusi berorientasi ekonomi. Hampir tidak pernah ada -rasanya, pelaku di dunia tersebut yang menikmati secara utuh pekerjaannya.
Merumuskan Strategi
Saat pelacuran merajalela, maka hal tersebut dapat dengan mudah mengindikasikan situasi kemunduran ekonomi. Alat produksi individual, yang terletak pada sarana reproduksi menjadi komoditas, layaknya benda diperdagangkan.
Di mana peran negara? Sulit melihat posisi keberadaan institusi lembaga pemerintahan dalam kondisi tersebut.
Lalu apa yang dapat dilakukan? Dilema etis hanya dapat dituntaskan dengan pengambilan keputusan etis, dengan mengedepankan (1) nonmaleficence --tidak merugikan (2) beneficence -manfaat maksimal dengan dampak minimal (3) veracity -kejujuran (4) fidelity -ketaatan (5) justice -keadilan.
Analisa atas situasi lingkungan terkait harus kembangkan, melihat problematika pelacuran dari akar pokok persoalan ekonomi. Mendorong penciptaan kemampuan produksi, diluar kepemilikan alat reproduksi. Termasuk mendorong peningkatan pemahaman tentang fitrah, akan aspek spiritualitas dan moralitas.
Persoalan ini, hanya akan dapat direduksi bila tidak dapat dihilangkan, melalui pendekatan sistematik. Dan pada posisi terakhir inilah peran institusi kelembagaan negara harus hadir, memastikan dilema etis dalam aspek sosial kemasyarakatan, terselesaikan secara strategis.
Kita tentu berharap pada campur tangan negara, untuk dapat menuntaskan. Instrumen kekuasaan dan kewenangan, memiliki daya dorong untuk melakukan perubahan terstruktur. Demi masa depan bangsa ini sendiri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H