Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Perbaiki Pola Komunikasi Jadi Jembatan Kesehatan Kita

11 Januari 2018   05:13 Diperbarui: 11 Januari 2018   19:48 1999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Seperti biasa, pagi itu sebelum memulai kerja, saya menyapa rekan sekerja yang kebetulan tidak hadir pada hari sebelumnya. Sembari bersemangat, dia bercerita tentang pengalaman tidak menyenangkan saat membawa orang tuanya ke salah satu klinik. 

Maklum saja, menurutnya, saat tengah malam Ibunya mendadak menggigil dan muntah tampak tidak sehat. Berdasarkan riwayat, sang Ibu memiliki problem diabetes, dan selama beberapa hari terakhir sedang sibuk dalam beraktivitas.

Langsung tancap gas malam itu juga, serunya, menuju satu klinik 24 jam yang terdekat. Namun apa daya, ekspektasinya seketika hilang beralih menjadi kecemasan dan kekhawatiran. 

Terutama saat dokter telah melakukan pemeriksaan dasar, lalu berujar, "sebaiknya dibawa ke rumah sakit karena membutuhkan ruang ICU, saya tidak dapat memberikan rawatan lanjutan karena terbatas fasilitas," pungkas si dokter. Penjelasan singkat dan bersifat langsung itu, semakin mengacaukan pikirannya.

Mengambil langkah tercepat, kemudian sang Ibu dibawa kesalah satu rumah sakit yang dekat dalam jangkauan. Tidak lama setelah masuk ruang IGD, setelah diperiksa dan diberikan tindakan serta pemberian beberapa obat, dalam kondisi tenang dan stabil sang Ibu kembali berangsur membaik. Setelah hampir semalaman di IGD rumah sakit, pagi harinya sudah diberikan persetujuan untuk pulang dan berobat jalan.

Hal ini jelas sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang dianjurkan sebelumnya, ICU dan berbagai kemungkinan tindakan lain. Tapi kepanikan yang membayang, membuatnya merasa kesal dengan sang dokter pemeriksa ditingkat pertama. 

Setelah utuh mendengar ceritanya, saya menyampaikan rasa simpati dan mendoakan kesembuhan bagi sang Ibunya, tetapi rasanya ada hal yang perlu diberi fokus penajaman dalam kasus tersebut. Persoalan KOMUNIKASI!

Relasi Komunikasi Dokter-Pasien

Banyak sesungguhnya, pembahasan dalam konteks tema pola komunikasi di ranah kesehatan. Bahkan topik ini menjadi bagian dari kerangka pembelajaran yang dikembangkan. 

Tetapi implementasi praktiknya tentu tidaklah mudah. Kasus diatas memberikan gambaran penting tentang situasi lapangan ditingkat operasional, bagaimana para pihak yang berinteraksi, perlu menempatkan posisinya dalam relasi komunikasi yang terbaik, dalam kesepahaman pelayanan.  

Tiada pihak yang bisa dipersalahkan dalam kasus tersebut. Tetapi perlu diperbaiki secara berkelanjutan agar petugas kesehatan dan pasien memiliki perspektif yang sama, yakni berorientasi bagi kesembuhan pasien. 

Menariknya kita kembali menelaah buku"Komunikasi Petugas Kesehatan dan Pasien, dalam Konteks Budaya Asia Tenggara" yang ditulis Mora Claramita et all, 2014.

Meski buku ini memberikan pernjelasan tentang pola komunikasi yang harus dikembangkan dalam kerangka pemberi layanan, tetapi penting juga bagi konsumen sebagai penerima layanan untuk dapat pula memahaminya. 

Relasi dokter dan pasien, dalam kenyataannya, khususnya Asia Tenggara dalam temuan tersebut memiliki karakteristik unik, yaitu: 1) kesenjangan sosial hierarkis, 2) budaya kesopanan dan bahasa non verbal, dan 3) otonomi pasien dan keterlibatan keluarga dalam pengambilan keputusan.

Dengan demikian, maka tenaga kesehatan diharapkan mampu memadukan profesionalisme dan komunikasi sebagai panduan bekerjanya. Profesionalisme menyandarkan diri pada skill medis dan kehormatan, kejujuran serta integritas yang kemudian berkaitan dengan aspek selanjutnya, yakni komunikasi secara efektif.  

Tidak hanya ke pasien semata, komunikasi juga harus dibangun guna menciptakan kesepahaman dalam perspektif antar tenaga kesehatan, pada suatu fasilitas kesehatan. 

Karena penanganan pasien terintegrasi antar berbagai bagian, dalam sebuah pelayanan kesehatan. Dititik ini, tenaga kesehatan harus menempatkan diri dalam perspektif pasien, membentuk simpati bertindak. Perhatikan gesture dan bahasa non verbal, guna memahami situasi psikologis pasien dan keluarganya.

Dalam melayani, model komunikasi tenaga kesehatan mengacu pada model "Sapa-Ajak Bicara-Diskusi", peran utama dalam menginisiasi pembicaraan awal adalah tenaga kesehatan, dengan memperhatikan aspek psikologis pasien yang membutuhkan pelayanan. Termasuk mengusulkan bentuk format lanjutan pelayanan yang akan dilaksanakan.

Kerangka psikologis pasien tipikal Asia Tenggara, meski kerap kali menjawab "ya dok"dan menyerahkan otorisasi solusi dari dokter, kerap kali menyampaikan keluhan terpisah di kemudian hari. Sebab itu pula mekanisme yang perlu dibuat adalah mengajak diskusi, sehingga kesepakatan yang dibuat bagi pasien menjadi persetujuan bersama.

Peran Partisipatif Pasien

Tidak lengkap bila kita tidak menempatkan cara bersikap yang sewajarnya bagi pasien, dalam bertemu dengan tenaga kesehatan. Meski menjadi kewajiban dan tanggung jawab profesi, tetapi membantu tenaga kesehatan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik, juga harus didukung oleh sikap konsumen dalam hal ini pasien.

Bayangkan Anda menjadi tenaga kesehatan dengan background situasi kerja dini hari, dengan kasus gawat darurat pada sebuah klinik yang memiliki keterbatasan pelayanan, tentu memberi pelayanan semaksimal mungkin adalah hal terbaik. 

Meski kemudian memberi rujukan tindakan pada tempat lain, metode informasi terbuka dan langsung tanpaprolog yang menenangkan memang sebuah kekeliruan.

Bersikap open dan tanpa prasangka, adalah langkah yang sangat positif dari pasien dan keluarga pasien dalam mendapatkan penanganan medis. Berkonsultasi dengan intonasi yang jelas, dan mengerti bahwa dokter akan mengambil langkah terbaik bagi pasien, justru dapat meringankan hati keluarga dan pasien itu sendiri, dibanding berburuk sangka.

Dialog dalam kesetaraan antara pemberi dan penerima layanan, adalah syarat dari suksesnya sebuah pola komunikasi. Termasuk memahami posisi, dan bertindak dalam perspektif pihak lain, sekaligus membangun simpati para pihak adalah langkah besar dalam komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien.

Semoga bisa dikembangkan lebih jauh lagi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun