Sayangnya, justru hampir 59% peserta pendidikan tinggi ditanah air bercokol dilevel universitas yang mengutamakan kemampuan akademis dibanding aspek praktis.
Identifikasi kesesatan yang terjadi di dunia pendidikan tinggi kita, termasuk diantaranya: (1) Jumlah institusi terlalu banyak, (2) Skala institusi tersebut terbilang kecil, (3) Kualitasnya belum merata, (4) Dominan aspek akademis dibanding kompetensi praktis, (5) Mayoritas keilmuannya terletak pada bidang sosial.
Dibanding mengutuk kegelapan, maka menyalakan lilin penerang tentu menjadi solusi terbaik. Lalu apa yang bisa dilakukan saat ini, khususnya bagi dunia pendidikan tinggi kita yang sudah terbentuk sedemikian?.
Komitmen swasta mendukung pendidikan nasional tidak bisa diabaikan, sehingga pemerintah sebagai regulator dan operator melalui kampus negeri harus memegang peran utama.
Ketentuan pembekuan perijinan baru, dan seleksi terbatas usulan ajuan baru, hanya kepada sektor yang khusus dan prioritas adalah keharusan.
Mendorong merger diantara kampus gurem dalam mensederhanakan jumlahnya, tentu bukan perkara mudah.
Perlu upaya khusus lain, semisal menginduk menjadi afiliasi dari kampus negeri berdasarkan wilayah kedudukannya.
Penutupan paksa dengan dalih kampus berskala kecil dan tidak bermutu jelas sebuah hal yang tidak demokratis, selama aturan administrasi perkuliahan dilaksanakan secara tertib.
Langkah pembaharuan yang dapat pula dikembangkan adalah menyokong institusi yang sudah ada untuk berkembang.Â
Apa salahnya dengan kampus yang banyak? Toh partisipasi publik ke perguruan tinggi masih rendah, kenapa tidak memanfaatkan kampus yang banyak untuk mendorong terjadinya partisipasi publik yang lebih luas terserap ke perguruan tinggi?.
Insentif dari pemerintah semisal bantuan pengkayaan kurikulum, bantuan dasar ruang latih dan praktek, hingga beasiswa pun termasuk hibah lainnya adalah hal yang perlu dikembangkan.