Terlanjur basah! Membangun kemampuan berdaya saing dibentuk melalui dunia pendidikan. Pada posisi puncak, aspek daya saing terletak pada pendidikan tinggi, dimana nantinya sebuah institusi perguruan tinggi harus dapat menciptakan output peserta didik yang terampil dan inovatif.
Problemnya blueprint pendidikan tinggi ditingkat nasional terbentuk, setelah terjadi perkembangan pendidikan tinggi swasta yang sedemikian massif.
Menyusun ulang bukan persoalan mudah, terlebih ketika struktur yang telah terbentuk begitu luas. Bayangkan, kita memiliki 4.529 perguruan tinggi, jauh lebih banyak dibanding Cina dengan hanya 2.824 institusi, sementara jumlah penduduknya hampir 6 kali lipat dibanding Indonesia.
Partisipasi peran institusi pendidikan swasta tentu tidak bisa dilihat sebelah mata, hal ini terlihat dari kontribusi besaran serapan jumlah peserta didik yang dikelolanya.
Jaman telah berubah, dan perubahan itu sebuah keniscayaan. Orientasi pendidikan tinggi kini menetapkan target tujuannya pada mutu alias kualitas.
Sehingga bukan lagi semata aspek kuantitas jumlah institusi, yang selaras dengan asumsi atas akes pendidikan. Sesuatu yang dikejar pada periode sebelumnya.
Masalah lalu mengemuka, mahasiswa pada pendidikan tinggi berbasis kompetensi praktis yang dikenal sebagai vokasi masih jauh dari harapan, hanya 5.4% saja.
Ironinya memang terjadi, ketika jumlah institusi pendidikan tinggi terbilang jenuh, pada sisi yang lain angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia baru menyentuk 31.5% dibanding Thailand 51.2% atau Singapura 82.7%.
Berkaca dari pengalaman negara-negara maju, maka peran industri dalam dunia pendidikan terbilang tinggi dan sejalan.
Ilustrasi sederhananya Austria hampir 87% peserta didik pada perguruan tingginya terserap pada pendidikan vokasional, bahkan rerata mahasiswa di Eropa mencapai 50%nya masuk pada ranah vokasi.
Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapat korelasi terkait antara jenis pendidikan yang berbasis kompetensi dan keahlian dengan perkembangan industri sebuah negara.