Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money

Kompetensi Pejabat Publik dalam Serapan Anggaran

23 Juli 2015   21:58 Diperbarui: 23 Juli 2015   21:58 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp


 

Seiring dengan kondisi ekonomi ditingkat nasional serta inernasional yang mengindikasikan kelesuan, maka salah satu hal yang diharapkan dapat memberikan rangsangan bagi timbulnya gairah ekonomi domestik melalui percepatan serapan anggaran pemerintah diberbagai sektor pembangunan.

Sayangnya, nampak jauh panggang dari api. Tingkat serapan belanja pemerintah hingga semeser I-2015 masih nampak adem-ayem dengan besaran sekitar 33,1%. Hal ini merujuk data prognosa semester I APBN 2015 rilis Kemenkeu, bahwa belanja pemerintah pusat baru sebesar Rp436,1 triliun dari pagu Rp1.319,5 triliun. Hal ini berimbas pada angka pertumbuhan yang kemudian berhenti di 4.9% dari target 5.2% di semester I. Padahal untuk memberikan dampak bagi pertumbuhan, percepatan serapan anggaran pembangunan dapat menjadi multivitamin bagi kondisi ekonomi nan layu tidak kunjung berkembang.

Sesungguhnya harapan dari proses penyerapan anggaran pemerintah dapat memberikan efek langsung jangka pendek, maupun keuntungan jangka  panjang. Terlebih bila belanja modal pemerintah untuk proyek pembangunan mampu dimanfaatkan secara optimal dalam menambah geliat para pengusaha lokal secara berantai dari kelas kakap hingga level UKM dibawahnya.

Satu kendala yang kemudian disebut menjadi hambatan dalam melaksanakan penyerapan anggaran, adalah adanya kekhawatiran para pejabat baik ditingkat pusat maupun daerah, sebagai akibat tanggungjawab langsung serta konsekuensi hukum yang diemban sebagai pengguna dan pelaksana anggaran.

Kerangka penegakan hukum yang kemudian melihat delik rentang tanggungjawab secara renteng, tentu akan menempatkan pucuk pimpinan sebagai pesakitan, meski hal itu bisa jadi bukanlah inisiatif pribadi. Namun kesalahan apapun yang terjadi ditingkat bawah pasti akan menjalar hingga ke atas.

Bila sudah demikian, pejabat menjadi takut menggunakan anggaran, hingga walhasil kemudian pembangunan berjalan lambat cenderung stagnan. Kondisi ini akan bertambah celaka, dalam situasi seperti saat ini ketika ekonomi dunia pun tengah lunglai. Padahal kita butuh kegairahan ekonomi lokal untuk menjaga pertumbuhan ekonomi positif.

Komitmen, Pengabdian dan Pembangunan

Sejatinya, menjadi pejabat publik adalah panggilan pengabdian karena sifat atas tanggung jawabnya yang melekat. Menjadi pelayanan masyarakat, adalah sebutan yang harusnya memang dilakukan bagi kemaslahatan bersama.

Karena itu, pejabat publik harus memiliki sifat leadership didalam dirinya. Komitmen tulus yang konsisten adalah bentuk dari manifestasi panggilan pengabdian, lebih dari sekedar mendapatkan segudang fasilitas dan berbagai tunjangan yang menyertai jabatan tersebut.

Secara mudah kita melihat banyak pihak yang berlomba untuk terlibat dalam lelang jabatan, bahkan yang tampak secara kasat mata adalah membludaknya ketertarikan pencari kerja manakala terdapat open rekrutmen bagi calon Pegawai Negeri Sipil.

Perlu mungkin ditekankan lebih jauh, dalam pembekalan CPNS bahwa menjadi aparatur negara harus berorientasi pada upaya mendukung pencapaian tujuan negara. Termasuk didalamnya dalam soal serapan anggaran tadi, sehingga menjadi pejabat publik bukan sekedar asal bejo mencari pekerjaan semata tetapi berpikir tentang kemajuan dalam kerangka lebih besar secara nasional.

Jadi tentu dengan demikian, amanah dalam jabatan itu tidak dipergunakan secara sembarangan dan serampangan. Membutuhkan kompetensi yang penuh menjadi pajabat publik, karena mereka adalah yang terpilih untuk menjadi penyelenggara negara. Kompetensi merupakan kombinasi dari Attitute -Skill -Knowledge, dan hal ini dipenuhi sebagai syarat kualifikasi pejabat publik.

Menjadi sebuah anomali, bila kemudian persoalan penegakan hukum malah dikategorikan sebagai problem dalam serapan anggaran, karena hakikat dalam best practice good governance adalah transparansi dan akuntabel secara terbuka. Jika keseluruhan proses telah berada dalam koridor yang sesuai, maka sesungguhnya apalagi yang hendak dikhawatirkan?.

Jangan sampai isu tentang rendahnya serapan anggaran dan ketakutan pejabat publik dalam penggunaannya kemudiam diarahkan pada upaya pemberian kekebalan hukum bagi pejabat publik, karena bila demikian kita telah lepas dari mulut buaya dan masuk ke perangkap harimau. Waspadalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun