Aplikasi sosial media yang dibatasi karakter dalam penyampaian pesan ini, memang telah terbukti menjadi sarana berkumpulnya keriuhan publik.
Tidak hanya itu, kebersamaan sudut pandang dalam satu aspek percakapan pun dapat berakhir menjadi aktifitas fisik yang sensasional nan luar biasa.
Pengalaman negara Timur Tengah membuktikan hal tersebut, Arab Spring pada 2011 yang menandai perubahan tatanan sosial sebagai bentuk interaksi pesan melalui sosiaal media yang menjangkau secara meluas penggunanya.
Kebangkitan dunia Arab, dalam bentuk unjuk rasa dan rangkaian protes sebagai bentuk tantangan atas bentuk pemerintahan diktator, ketimpangan ekonomi dan sosial serta berbagai kondisi politik di Jazirah Arab yang sudah usang.
Revolusi terjadi dan membesar, Twitter memainkan peran sebagai pencetus kebersamaan, membangun komunikasi dan mengorganisir elemen kekuatan sipil untuk melakukan gerakan perubahan.
Demonstrasi sipil itu berujung pada pergantian kekuasaan dan menggoyang struktur politik yang kaku, tercatat Tunisia merupakan negara awal tempat terjadinya Revolusi via Twiiter, kemudian menyebar hingga ke Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Lebanon dan berbagai negara semenanjung Timur Tengah lain.
Akun Pak Menteri @tifsembiring
Pada hashtag #ShameOnYouSBY yang menjadi pembicaraan publik, mencuat kicauan dari Menteri Telekomunikasi dan Informasi -Tifatul Sembiring mengenai penutupan social media Twitter.
“Beberapa negara spt Turki, Arab Saudi, Mesir pernah menutup twitter. Indonesia belum pernah menutup Twitter. Ada usulan?” @tifsembiring akun Twitter pribadinya pada 28/9.
Menariknya, meski berpotensi membangun persepsi akan penutupan Twitter, ternyata pak Menteri pun sangat aktif ber-twitter.
Politisi PKS yang pernah menjabat sebagai Ketua Partai periode 2005-2010 itu, tercatat berkicau 26.6K, dengan mem-follow 2.137 dengan jumlah pengikut sebanyak 812.5K.