Kekayaan sumber daya alam yang melimpah dinegeri ini, masih menjadi bagian yang belum dapat bersentuhan langsung dengan upaya peningkatan kesejahteraan publik. Masalah utamanya adalah minimnya kemampuan sumberdaya manusia untuk melakukan pengelolaan harta nasional tersebut.
Maka tidak heran bila kemudian, berbagai bangsa lain dalam wujud korporasi hadir dan melihat potensi tersebut, bahkan tidak hanya pada persoalan sumberdaya alam semata, jumlah penduduk yang jumbo pun menjadi angka yang menarik untuk dieksploitasi sebagai lapisan konsumen.
Sesuai dengan hasil kalkulasi estimasi matematis, maka diperkirakan Indonesia akan mencapai fase yang dikenal dengan istilah bonus demografi. Kondisi tersebut mengacu pada tingkat perbandingan antara penduduk produktif (15-64 tahun) yang dominan, dibanding dengan usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun lebih).
Nilai tersebut dinyatakan sebagai angka ketergantungan, trend yang terjadi di Indonesia adalah mengalami penurunan dari periode tahun 1971 yang berada diangka 86, yang diprediksi menjadi 44 pada 2020-2030, dimana 100 orang penduduk produktif nantinya akan menanggung 44 orang tidak produktif.
Problem yang kemudian mengemuka adalah kondisi kerawanan yang dapat terjadi bila lapisan produktif ini kemudian tidak bisa terserap disektor produktif, sehingga berpotensi menjadi problem sosial dikemudian hari, terlebih bila usia produktif tersebut tidak memiliki kualitas yang terbaik.
Peluang yang terjdapat di masa depan secara ekonomi adalah terdapatnya pusaran globalisasi, dan untuk menghadapi hal tersebut, maka modalitas kita teramat sangat kuat, yakni dengan jumlah sumberdaya manusia serta sumberdaya alam melimpah, namun sekalilagi tentu kita tidak ingin hanya menjadi penonton dan objek pasif semata -berjuluk konsumen.
Langkah yang dilakukan pemerintah masih terbilang diupayakan pada penangkalan masalah, yakni mendengungkan kembali persoalan keluarga berencana dengan konsepsi bila laju pertumbuhan penduduk terkendali, maka kita akan semakin siap dalam mengatasi kondisi bonus demografi tersebut.
Terbilang angka kelahiran Indonesia tidak beranjak dari 2.1 anak perkeluarga sejak 12 tahun lalu, meski menurun dari 5.6 anak perkeluarga pada 1970 dan 2.6 anak perkeluarga ditahun 2002, disertai rendahnya penggunaan kontrasepsi nasional yang baru mencakup 68% dari total jumlah pasangan.
Tentu saja tidak salah, namun akan menjadi baik bila kemudian sudut pandangnya dibalik dengan menempatkan bahwa pertambahan penduduk merupakan sebuah anugerah baik bagi negeri ini untuk melakukan pengelolaan kekayaan alam secara self sustain.
Kita sungguh berharap, jika modalitas yang besar secara kuantitas manusia produktif tersebut dapat diimbangi dengan perbaikan dalam aspek kualitasnya, sehingga kita menjadi bangsa yang kuat dikarenakan lapis sumberdaya manusianya yang mumpuni dan digdaya diberbagai bidang.
Apa yang bisa dilakukan? Dalam hal ini yang wajib menjadi kepentinganpemerintah dalamkerangka antisipasi adalah mempersiapkan ruang yang cukup bagi pembangunan kreatifitas, yang mendorong terciptanya lapisan wirausahawan bagi penguatan sistem ekonomi nasional.
Kita mengetahui, keterbatasan kemampuan pembukaan lapangan pekerjaan baru dari sektor industri dan korporasi besar, dan hanya pada usaha berkategori kecil-menengah lah yang dapat menjadi pelopor pembentukan generasi self employee yang mandiri.
Namun tentu tidak semudah itu, perlu komitmen serius pemerintah dalam hal ini. Pendidikan menjadi hal utama yang tidak bisa ditawar lagi, termasuk pengembangan serta penguatan basis pengetahuan dan skill dalam sentra kreatifitas dan peminatan kewirausahaan, ditambah dengan kemudahan akses permodalan tentu menjadi insentif bagi penguatan lapis generasi muda dimasa mendatang.
Bila kemudian jumlah usia produktif kita nantinya akan dominan sekitar 2/3 dari total jumlah penduduk, tentu angka yang besar ini jangan hanya menjadi incaran kepentingan asing semata, tetapi menjadi pondasi yang kuat dalam kepentingan bersaing ditingkat dunia.
Untuk itu, kita hendaknya bersiap dari sekarang menyiapkan kain layar, sebelum angin berhembus deras, agar biduk yang kita tumpangi dapat melaju kencang saat badai menerpa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H