Bagi masyarakat perkotaan, internet bak air di musim hujan. Namun, bagi masyarakat di pedalaman, internet bisa jadi menentukan nasib kehidupan seseorang, bahkan sebuah lingkungan. Mewah sekaligus vital. Itulah sarana internet bantuan BP3TI Kemenkominfo di pedalaman Indonesia.
Salah satunya di Kepulauan Ayau yang berbatasan dengan negara Filipina dan Palau. Untuk sampai ke pulau ini, saya harus mengarungi lautan menggunakan kapal motor cepat selama 6 jam. Bila menggunakan kapal perintis, orang-orang harus sabar menerjang ombak hingga 2 hari lamanya.
Beberapa pekan sebelum saya tiba, beberapa nelayan sempat terjebak di dalam kabut ketika mereka tengah memancing ikan. Naas, ketika kabut reda, mereka malah tiba di wilayah kedaulatan Filipina dan tertangkap oleh otoritas setempat.
Keluarga nelayan tersebut tentunya panik mendapati anggota keluarganya belum juga pulang melaut. Fasilitas telekomunikasi seluler di pulau ini pun sudah lama mati. Beruntung, bantuan internet dari Kementerian Komunikasi dan Informatika berfungsi dengan baik. Segera saja mereka mengabarkan peristiwa ini ke pemerintah kabupaten setempat.
Dengan segera, para nelayan berhasil ditemukan. Pemerintah nasional juga langsung berkoordinasi dengan pemerintah Filipina untuk memulangkan para nelayan. Dalam hal ini, fasilitas internet desa berhasil menyelamatkan tiga nyawa dari jeruji penjara negara tetangga.
Di Raja Ampat, Kementerian Komunikasi dan Informatika memang menghibahkan infrastruktur v-sat berkapasitas 2 mbps di empat desa. Dua desa yang berada di ujung utara Raja Ampat sebagai representasi wilayah perbatasan. Keduanya sama-sama ditempatkan di Pulau Ayau.
Sedangkan satu fasilitas ditempatkan di desa termaju. Adapun satu fasilitas lainnya terdapat di desa wisata. "Supaya terlihat karakteristik penggunaan internetnya di masing-masing desa," papar seorang anggota legislatif kepada saya. "Jadi, kita bisa memetakan sekaligus merancang pendampingan TIK yang tepat untuk masyarakat," tandasnya.
Perbedaan karakteristik penggunaan ini pula yang muncul ketika kita membandingkannya dengan desa wisata, Yenbuba. Selain untuk mempromosikan daerah wisata, fasilitas ini juga digunakan para wisatawan untuk mengabarkan sanak saudaranya di belahan bumi lain.
Namun, pemanfaatan yang paling dramatis terjadi ketika sebuah kapal pesiar kandas di perairan Yenbuba pada Maret 2017 lalu. Peristiwa ini merusak hingga lebih dari 13 ribu meter persegi terumbu karang di kawasan wisata Yenbuba.
Selang beberapa saat setelah peristiwa tersebut, informasi tentang kandasnya kapal dan kerusakan terumbu karang tersiar langsung dari Desa Yenbuba. Beramai-ramai, masyarakat desa dan wisatawan memanfaatkan fasilitas internet desa untuk mengabarkan dunia tentang kecerobohan kapal pesiar asal Inggris tersebut.
Menariknya, sosok yang mempublikasikan pertama kali peristiwa tersebut adalah wisatawan asal Amerika. Bahkan, sang wisatawan tampak meneteskan air mata dan kerap merenung di dermaga Yenbuba beberapa hari usai peristiwa tersebut. "Barangkali, saya orang yang terakhir kali menikmati keindahan alam bawah laut Yenbuba," ucap sang wisatawan yang dikisahkan oleh salah seorang aparatur distrik Meos Mansar, ketika saya berkunjung.
Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu, tetapi masyarakat tetap mengawal proses pengadilan dan pembayaran kompensasi atas kerusakan terumbu karang tersebut. Dalam hal ini, internet desa menjadi ujung tombak masyarakat Yenbuba. Tidak hanya untuk mempublikasikan keindahan Raja Ampat, tetapi juga alat perjuangan dan kegigihan mereka untuk menjaga desa dan alamnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H