Kondisi pepohonan hutan di Karangsoak yang mulai meninggi. (Foto: Yudha PS)
Sahur kedua di Desa Mandalamekar. Meski tanpa gempa seperti hari pertama, tetapi kami bangun tepat waktu dan masih semangat menyantap hidangan yang sudah tersedia di meja makan. Meskipun begitu, kelelahan mulai tampak di wajah tim Kompas TV. Terlebih lagi, mereka sudah 2 pekan berada di lapangan, jauh dari kasur yang empuk di rumah.
Agenda liputan hari ini adalah mewawancarai pak Yana Noviadi selaku kepala desa Mandalamekar, dan kang Irman Meilandi sang penggerak Gerakan Desa Membangun (GDM) di Mandalamekar. Pak Yana sendiri diwawancarai di rumahnya, yang tidak lain merupakan tempat menginap kami. Bersama pak Yana, kami berbincang-bincang mengenai penghijauan, program pemerintah desa, dan pergerakan citizen media di Mandalamekar.
Hampir semua paparan pak Yana pernah saya tulis di blog, termasuk perjalanannya menjadi kepala desa, program membangun hutan, digitalisasi administrasi desa, dan pergerakan citizen media berbasis radio dan internet di Mandalamekar. Meskipun begitu, dalam wawancara tersebut, beliau menyelipkan beberapa perkembangan baru yang perlu saya catat di sini.
Salah satunya adalah visi Mandalamekar pada tahun 2025 sebagai desa maju. Hal ini merupakan rentetan dari pembangunan yang dilakukan oleh Mandalamekar sejak masih berstatus sebagai desa tertinggal pada satu dekade lalu. Kini, Mandalamekar mulai berstatus sebagai desa berkembang.
Untuk menggapai visi ini, Mandalamekar tengah berusaha membangun manusianya agar mampu mandiri dan berdaulat. Guna mewujudkannya, praktis sektor pendidikan dan ekonomi tengah digenjot di Mandalamekar saat ini. Di sektor ekonomi, Mandalamekar kini tengah getol-getolnya membangun ekonomi berbasis desa. Setelah cukup sukses dengan cabai dan rintisan wisata desanya, kini pak Yana dan masyarakatnya tengah mengembangkan peternakan sapi.
Uniknya, Mandalamekar tidak sendiri dalam hal ini. Mereka bekerjasama dengan 4 desa lainnya di kawasan untuk membangun Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). SPR ini merupakan salah satu ikhtiar untuk membangun ekonomi berbasiskan peternakan sapi, salah satu sumber daya yang ada di desa-desa di sekitar Mandalamekar.
Sedangkan dari sektor pendidikan, Mandalamekar kini memiliki SMK Karya Putra Manggal. SMK ini tidak hanya ditujukan bagi masyarakat Mandalamekar semata, tetapi juga masyarakat desa-desa lainnya yang tidak bisa melanjutkan SMA ke kota.
Bagi pak Yana, berusaha menyelesaikan masalah-masalah di Mandalamekar secara mandiri merupakan “unjuk rasa” atas absennya negara di desa tertinggal. Alih-alih menyibukkan diri berdemo dan menuntut pemerintah agar peduli, justru pak Yana dan kawan-kawan secara bergotong royong membangun desa Mandalamekar. Hasilnya, kini, justru pemerintah yang ingin sekali membantu Mandalamekar. Keinginan ini bahkan tersirat dari pemerintahan mulai tingkat kecamatan, kabupaten, hingga pusat.
Usai wawancara, mas Popo meminta pak Yana untuk mendemonstrasikan aktivitasnya ketika mengakses internet di tengah sawah. Aktivitas ini memang unik, dan menjadi bahan tulisan saya ketika membahas Mandalamekar pada kunjungan pertama. Tidak hanya saya dan Kompas TV saja yang mengangkat aktivitas unik tersebut. Film dokumenter Lini Massa 2 pun melakukan hal yang sama.
Dalam kesempatan tersebut, pak Yana juga mengajak saya dan tim Kompas TV untuk melakukan ritual yang harus dilakukan para tamu bila berkunjung ke Mandalamekar: menanam pohon. Pak Yana memilih Karangsoak sebagai lokasi ritual ini. Kami bersama beberapa warga Mandalamekar pun langsung menuju lokasi.
Saya cukup takjub melihat kondisi Karangsoak saat ini. Pada 2011 silam, ketika saya pertama kali berkunjung ke sini, saya masih bisa melihat sungai Ciwulan di sebelah utara Mandalamekar dari jalanan yang membatasi hutan Karangsoak dengan kebun warga.
Namun, saat ini, sungai tersebut sudah tidak tampak, ditutupi oleh pepohonan yang sudah meninggi. Lebih dari itu, kini Karangsoak mulai dihuni binatang-binatang yang tidak pernah terlihat ketika hutan ini gundul. Salah satunya adalah ular Sanca besar dengan panjang hingga belasan meter. Kontan, bagi saya yang tidak menyukai ular, cerita tersebut membuat saya merinding dan berhati-hati berada di Karangsoak.
Pak Yana mengajak kami menanam di area kosong di tengah hutan. Dibantu mang Dodi Rosadi, kami menanam pohon Jati Uganda. Mang Dodi dan mang Tata sendiri sudah menyiapkan sekitar 6 bibit pohon untuk kami tanam. Namun, karena keperluan pengambilan gambar, akhirnya setengahnya ditanam oleh saya semua. Mas Popo mengarahkan saya untuk menanam beberapa kali. Sedangkan sisanya ditanam oleh mba Yessi selaku perwakilan Kompas TV.
***
Kondisi pepohonan di Pasirbentang yang sudah meninggi. Padahal, 10 tahun lalu, area ini masih berupa lahan kritis yang ditumbuhi ilalang. (Foto: Yudha PS)
Selepas sholat Jumat, dan siang semakin terik saja. Bila hari biasa, momen ini tentunya akan diisi oleh makan siang atau menghabiskan sebutir kelapa hijau untuk memuaskan dahaga. Namun, hal ini tidak memungkinkan terwujud saat itu, tengah hari pada bulan Ramadhan 1436H.
Agenda selanjutnya adalah mewawancarai kang Irman Meilandi. Sesi pengambilan gambar dan wawancara terakhir di Mandalamekar ini diambil di area Pasirbentang, sebuah bukit yang merupakan titik tertinggi di Mandalamekar. Dulunya, area Pasirbentang dimiliki oleh orang-orang dari desa lain. Kini, sebagian besar tanah di bukit Pasirbentang sudah dibeli oleh kang Irman.
Satu dekade silam, ketika Pasirbentang masih dimiliki oleh banyak orang, lahan ini kritis dan hanya ditumbuhi alang-alang. Prihatin dengan kondisi tersebut, kang Irman sedikit demi sedikit membelinya dan mengubahnya menjadi hutan. Untuk mempercepat tumbuhnya pepohonan di Pasirbentang, kang Irman sengaja mengembalakan sapinya di lokasi tersebut. Diharapkan, kotoran sapi tersebut menjadi pupuk yang mampu menyuburkan tanah di Pasirbentang dan mempercepat pertumbuhan pepohonan yang ditanam. Hasilnya, setelah 10 tahun berlalu, Pasirbentang teduh dengan tajuk pohon yang tingginya 2 kali tiang telepon.
Kang Irman mengajak saya dan tim Kompas TV ke puncak Pasirbentang. Untuk menjangkaunya, kami harus naik kendaraan dan melewati jalanan berbatu dan berlubang. Selepas itu, kami harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dan melewati jalur setapak di antara semak belukar dan pepohonan yang rindang.
Mba Yessi beberapa kali menanyakan jarak yang harus ditempuh untuk tiba di Pasirbentang dengan berjalan kaki. Tampaknya beliau ingin memastikan bahwa perjalanan tidak terlalu jauh, mengingat kondisi tim yang sudah setengah kelelahan. Namun, Kang Irman meyakinkan kami bahwa jaraknya hanya 1,5 Kilometer. Untuk membantu tim Kompas TV, kang Irman bahkan meminta bantuan penduduk setempat untuk membawakan tripod yang beratnya antara 3-5 Kilogram.
Ternyata, kecurigaan mba Yessi terjawab. Pada saat turun dari Pasirbentang, beliau sempat menanyakan ke asisten kang Irman ihwal jarak yang mereka tempuh. Ternyata, jaraknya mencapai sekitar 5 Kilometer. Saya kemudian berseloroh bahwa jarak yang kang Irman sebutkan diukur menggunakan drone, bukan berjalan kaki. Jadi dihitung garis lurus, bukan berkelok-kelok seperti yang kami tempuh.
Untuk menggapai puncak Pasirbentang memerlukan usaha yang cukup besar. Kami harus melewati jalanan setapak yang terjal, berbatu, licin, dan berliku. Beberapa kali kami harus berhenti sejenak untuk menghela nafas. Meskipun begitu, melihat semangat kang Irman untuk menceritakan Pasirbentang dan suasana hutan yang adem, membuat kami terpacu untuk sampai ke puncak Pasirbentang secepat mungkin.
Salah satu yang diceritakan oleh kang Irman adalah mata air yang mulai kembali mengalir kembali di Pasirbentang seiring pulihnya hutan di atasnya. Airnya pun cukup deras dan jernih, dan dialirkan menggunakan bambu untuk memenuhi kebutuhan warga yang tinggal di bawahnya. Padahal, musim kemarau sudah mulai mengeringkan sawah-sawah di desa-desa sekitar Mandalamekar. Namun, tidak untuk mata air di Mandalamekar.
Sesampainya di puncak Pasirbentang, sebuah rumah panggung menyambut kami. Kang Irman menceritakan bahwa rumah panggung tersebut kerap dijadikan tempat menginap bagi dirinya ketika berkunjung ke Pasirbentang. Durasinya pun cukup lama, bisa sampai sepekan.
Wawancara dengan kang Irman kami lakukan tepat di bawah rumah panggung tersebut. Wawancaranya sendiri seputar latar belakang beliau meninggalkan kehidupan mapannya di Papua dan prestasinya meraih Seacology Award. Selain itu, latar belakang berdirinya SMK Karya Putra Manggala di Mandalamekar pun menjadi bahan wawancara kami.
Banyak hal yang kang Irman paparkan pernah saya tulis di blog. Salah satu yang menurut saya baru adalah usahanya untuk membangun kapasitas manusia di Mandalamekar. Hal ini ditempuh dengan mendirikan SMK di bidang Teknik Komputer Jaringan.
Pilihan bidang di SMK ini dilatar-belakangi minimnya minat anak muda Mandalamekar untuk belajar peternakan dan kehutanan. Meskipun begitu, kang Irman mendorong agar SMK ini juga menyelipkan kemampuan berternak dan mengelola hutan. Harapannya, lulusannya mampu mengoptimalkan potensi yang ada di Mandalamekar dan menghubungkannya dengan dunia luar.
Setelah satu jam mengambil gambar, kami pun mengarahkan diri untuk kembali ke rumah pak Yana dan mengemasi barang-barang kami. Dua hari menjelajah Mandalamekar untuk 2 segmen sebuah episode Cerita Indonesia, itulah yang kami tempuh. Lelah, sudah pasti. Namun, pengalaman baru yang didapat dan didokumentasikan lebih berarti dibandingkan pegal, lapar, dan dahaga yang dirasakan. Harapannya, banyak orang yang bisa mendapatkan inspirasi dari penggalan-penggalan gambar yang disuguhkan Kompas TV ketika tayang kelak.
Selepas maghrib, saya dan tim Kompas TV langsung melanjutkan perjalanan ke Bandung. Bagi saya, meninggalkan Mandalamekar bukan berarti pergi jauh dari desa tersebut. Namun, selalu diiringi janji untuk kembali dan berkontribusi lebih baik pada suatu saat nanti, baik untuk Mandalamekar, juga untuk Indonesia yang lebih baik.{*}
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H