Mba Yessi beberapa kali menanyakan jarak yang harus ditempuh untuk tiba di Pasirbentang dengan berjalan kaki. Tampaknya beliau ingin memastikan bahwa perjalanan tidak terlalu jauh, mengingat kondisi tim yang sudah setengah kelelahan. Namun, Kang Irman meyakinkan kami bahwa jaraknya hanya 1,5 Kilometer. Untuk membantu tim Kompas TV, kang Irman bahkan meminta bantuan penduduk setempat untuk membawakan tripod yang beratnya antara 3-5 Kilogram.
Ternyata, kecurigaan mba Yessi terjawab. Pada saat turun dari Pasirbentang, beliau sempat menanyakan ke asisten kang Irman ihwal jarak yang mereka tempuh. Ternyata, jaraknya mencapai sekitar 5 Kilometer. Saya kemudian berseloroh bahwa jarak yang kang Irman sebutkan diukur menggunakan drone, bukan berjalan kaki. Jadi dihitung garis lurus, bukan berkelok-kelok seperti yang kami tempuh.
Untuk menggapai puncak Pasirbentang memerlukan usaha yang cukup besar. Kami harus melewati jalanan setapak yang terjal, berbatu, licin, dan berliku. Beberapa kali kami harus berhenti sejenak untuk menghela nafas. Meskipun begitu, melihat semangat kang Irman untuk menceritakan Pasirbentang dan suasana hutan yang adem, membuat kami terpacu untuk sampai ke puncak Pasirbentang secepat mungkin.
Salah satu yang diceritakan oleh kang Irman adalah mata air yang mulai kembali mengalir kembali di Pasirbentang seiring pulihnya hutan di atasnya. Airnya pun cukup deras dan jernih, dan dialirkan menggunakan bambu untuk memenuhi kebutuhan warga yang tinggal di bawahnya. Padahal, musim kemarau sudah mulai mengeringkan sawah-sawah di desa-desa sekitar Mandalamekar. Namun, tidak untuk mata air di Mandalamekar.
Sesampainya di puncak Pasirbentang, sebuah rumah panggung menyambut kami. Kang Irman menceritakan bahwa rumah panggung tersebut kerap dijadikan tempat menginap bagi dirinya ketika berkunjung ke Pasirbentang. Durasinya pun cukup lama, bisa sampai sepekan.
Wawancara dengan kang Irman kami lakukan tepat di bawah rumah panggung tersebut. Wawancaranya sendiri seputar latar belakang beliau meninggalkan kehidupan mapannya di Papua dan prestasinya meraih Seacology Award. Selain itu, latar belakang berdirinya SMK Karya Putra Manggala di Mandalamekar pun menjadi bahan wawancara kami.
Banyak hal yang kang Irman paparkan pernah saya tulis di blog. Salah satu yang menurut saya baru adalah usahanya untuk membangun kapasitas manusia di Mandalamekar. Hal ini ditempuh dengan mendirikan SMK di bidang Teknik Komputer Jaringan.
Pilihan bidang di SMK ini dilatar-belakangi minimnya minat anak muda Mandalamekar untuk belajar peternakan dan kehutanan. Meskipun begitu, kang Irman mendorong agar SMK ini juga menyelipkan kemampuan berternak dan mengelola hutan. Harapannya, lulusannya mampu mengoptimalkan potensi yang ada di Mandalamekar dan menghubungkannya dengan dunia luar.
Setelah satu jam mengambil gambar, kami pun mengarahkan diri untuk kembali ke rumah pak Yana dan mengemasi barang-barang kami. Dua hari menjelajah Mandalamekar untuk 2 segmen sebuah episode Cerita Indonesia, itulah yang kami tempuh. Lelah, sudah pasti. Namun, pengalaman baru yang didapat dan didokumentasikan lebih berarti dibandingkan pegal, lapar, dan dahaga yang dirasakan. Harapannya, banyak orang yang bisa mendapatkan inspirasi dari penggalan-penggalan gambar yang disuguhkan Kompas TV ketika tayang kelak.