Pernah mendengar atau membaca kisah Narcissus; seorang pemuda yang setiap harinya selalu berlutut dan memandang ketampanan wajahnya dari pantulan cahaya air sungai (seperti sedang berkaca). Singkatnya Narcissus mati tenggelam karena mencoba untuk meraih dirinya, yang tampan, dan jatuh ke dalam sungai.
Banyak yang menangisi kematian Narcissus, termasuk sungai tersebut. Tandanya air di sungai itu telah berubah rasa: tawar menjadi asin karena air mata.
Suatu kali dewi-dewi hutan mendapati sungai itu sedang menangis. Mereka tahu kalau semua makhluk di hutan telah menangisi kepergian Narcissus dan ketampananya.
"Mengapa kau menangis?" dewi-dewi itu bertanya "apakah kau menangis karena kepergian Narcissus sehingga membuat kau tidak bisa melihat ketampananya lagi setiap harinya?."
"Aku memang menangisi Narcissus, tapi aku tak pernah yakin apakah benar dia tampan dan elok. Aku menangis karena setiap kali dia berlutut di tepianku, aku bisa melihat pantulan keelokanku di kedalaman matanya" jawab sungai itu.
Saat membaca kisah tersebut aku ragu bahwa apakah dunia benar-benar memandang kita sebagaimana adanya? Ataukah semua pandangan kita terhadap apa pun itu telah diperdaya.
Kebanyakan orang pada umumnya selalu melihat apa yang ingin mereka lihat, bukan apa yang sebenarnya terjadi.
Sebagai contoh setiap manusia tentunya selalu mendambakan sebuah kebahagiaan menghampiri hidupnya, padahal apa yang disebut sebagai kebahagiaan adalah relatif.
Seorang pria sangat bahagia jika menghabiskan harinya bersama pacarnya, atau salah seorang temanku begitu bahagia ketika bisa mencuri waktu, di tengah-tengah kesibukan bekerja, hanya untuk bermain game online.
Kita selalu terpukau dengan apa yang disebut dengan kebahagiaan. Kita berusaha untuk bisa mencapainya dengan cara apa pun. Semua keputusan dari banyaknya pilihan yang kita ambil berdasarkan atas pertimbangan mendapatkan kebahagiaan tersebut.
Namun juga setiap keputusan yang diambil, sama saja menceburkan diri ke dalam arus deras yang akan membawa kita ke tempat-tempat yang tak pernah dibayangkan saat pertama-tama mengambil keputusan tersebut.
Antusiasme seperti itu yang membuat kita setiap harinya bisa bertahan hidup. Namun bagaimana jika kebahagiaan itu telah didapatkan, apakah kita akan kehilangan alasan untuk hidup seperti layaknya manusia? Aku rasa tidak, begitu pun dengan Marx.
Marx memandang bahwa keruntuhan kapitalisme bukanlah ketika kapitalisme memproduksi barang---dari proses kerja buruh yang teraleanasi---yang berlebih dan seturut dengannya daya beli masyarakat yang menurun karena penghisapan tenaga kerja buruh semakin keras (pemiskinan).
Tapi sangat disayangkan bahwa sampai hari ini era kapitalisme tidak pernah runtuh. Asumsi Karl Marx mungkin benar tetapi sekaligus keliru, justru ia lupa menempatkan satu hal paling penting yang sudah ada dalam diri manusia yaitu, sebuah sosok yang begitu mengerikan: hasrat, yang memaksa untuk terus-menerus mengkonsumsi.
Hasrat itulah yang membawa setiap manusia terus mencari kebahagiaan, yang sebelumnya sudah diraih, secara terus-menerus. Dengan itu setiap manusia masih memiliki alasan untuk terus melanjutkan hidup.
Namun situasi seperti ini justru memperlihatkan bahwa kebahagiaan itu bukanlah sebuah tujuan. Kebahagiaan hanyalah sebuah Oase di tengah-tengah padang gurun. Ia akan selalu hadir secara terus-menerus tanpa henti, seperti sebuah rantai lingkaran tak terputus yang telah mengikat diri kita. "Berjalan terus dan terus", samsara.
Aku pernah mendengar sebuah cerita "katanya Tuhan bersemayam di dalam diri semua orang yang bahagia." Namun kadangkala kita tidak pernah tahu bahkan di dalam setets air pun, yang hampir setiap harinya kita lihat, di sana terdapat banyaknya sumber kebahagiaan.
Ada sebuah kecenderungan di mana kita suka membangun sebuah proyeksi akan sesuatu, yang semuanya terarah pada kebahagiaan.
Aku curiga mungkin selama ini kita telah salah melihat sebuah dunia di mana kita hidup, manusia pada umumnya terlalu takut akan hal-hal yang sebenarnya tidak diketahuinya; takut kehilangan apa yang belum kita miliki.
Bukan berarti aku menyarankan untuk menekan semua hasrat kebahagiaan, meskipun hanya sebuah proyeksi, dan mengikuti jalan asketisme ekstrim untuk melepaskan semua keinginan dan hasrat tersebut. Percayalah kita tidak seperti Tathagata---sebagaimana Buddha disebut.
Aku hanya ingin memperlihatkan gambaran yang lebih luas lagi: mungkin selama ini dunia telah membohongi kita dan membentuk dunia baru dengan kebahagiaan sebagai berhalanya.
Mungkin juga penglihatan dan sudut pandang kita yang telah diperdaya akan hal itu, seperti sebuah camera obscura yang memperlihatkan gambar terbalik dari objek yang diperlihatkan---atas menjadi bawah, kiri menjadi kanan dan seterusnya.
Setiap orang percaya akan dusta terbesar di dunia, bahwa pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada diri kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib untuk terus mengejar kebahagiaan itu.
Semoga Tuhan memberikan kebahagiaan yang melimpah kepadamu. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H