Korporasi adalah sebuah entitas atau keberadaan yang status nya dimata hukum dipandang secara umum sebagai suatu subjek hukum (rechtpersoon) yang dipersamakan dengan manusia (Naturlijk person) sebagai subjek hukum yang dalam konteks kesamaannya adalah memiliki hak dan kewajiban hukum.Hak dan kewajiban hukum disini dalam artian kemampuan untuk melakukan perikatan, kemampuan untuk menggugat ataupun menuntut di muka hukum, dan kemampuan lainya yang melekat sebagai suatu subjek hukum yang merupakan pendukung hak dan kewajiban.
 Sebagai suatu kumpulan orang maupun kekayaan terorganisir baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, maka korporasi mempunyai strukural kepengurusan dari pimpinan hingga ke karyawan nya.Maka dalam konteks suatu kumpulan tersebut suatu keniscayaan apabila ada perbedaan hingga pergesekan untuk kepentingan dan ego orang-orang di dalamnya dan tidak menutup kemungkinan hingga ketingkat kejahatan, sebagaimana yang sudah di adagiumkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia itu adalah Homo Homini Lupus, yaitu manusia adalah srigala bagi manusia lainya.
 Konsep White Collar Crime atau kejahatan kerah putih dalam perkembanganya menjadi bersifat transnasional dan terorganisasi, sebagai contoh bahwa korporasi dapat digunakan oleh pengurusnya sebagai bagian untuk mencuci keuangan nya yang diperoleh dari perbuatan yang melawan hukum, atau bisa pula korporasi tersebut secara semangat awalnya menjadi suatu perkumpulan orang-orang beserta hartanya dalam mencari keuntungan yang berasal dari perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, atau bisa jadi pula meski korporasi tersebut secara hakikatnya baik namun karyawan-karyawan dibawahnya menggunakan nama korporasi tersebut untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang melannggar ketentuan hukum, oleh sebab itu tidak berlebihan apabila kejahatan korporasi dapat digolongkan sebagai salah satu dari White Collar Crime ini.
Bicara suatu perbuatan pidana maka tentu diawali dengan pondasi awal terjadinya suatu tindak pidana yaitu actus reus atau perbuatan yang dinilai melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang dikategorikan sebagai unsur objektif, dan yang kedua adalah mens rea yakni sikap bathin dari pelaku tatkala melakukan suatu perbuatan pidana dapat berupa niat yang biasanya dikenal sebagai unsur subjektif.Kejahatan korporasi pada perkembangan nya menjadi tindak pidana korporasi saat ini memang tidak secara ekspresif verbis diatur di dalam Wetboek van Strafrecht atau Kitab undang-undang hukum pidana maupun aturan formilnya, namun di Indonesia sendiri untuk menjawab kekosongan hukum itu sendiri tindak pidana korporasi termuat di dalam undang-undang lainya di luar KUHP diantara contohnya adalah UU Tindak pidana korupsi atau UU Lingkungan Hidup.
Di samping itu pula terdapat regulasi hukum terkait teknis penegakan tindak pidana korporasi yang dimana pertanggungjawabanya dapat dimintakan kepada Korporasi yang melakukan tindak pidana, hal tersebut termuat dalam kaidah pasal 1 angka 8 Perma Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.
Pada tindak pidana yang diakukan oleh orang-orang didalam korporasi baik pengurus maupun oleh karyawanya berlaku beberapa pendekatan hukum tergantung daripada konteks terjadinya tindak pidana tersebut.Pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi sendiri maka berlaku pendekatan Derivative yaitu upaya untuk menemukan kesalahan korporasi secara langsung dengan ini kesealahan material merupakan kesalahan langsung dari koporasi itu sendiri, dan Pada konteks perbuatanya dilakukan oleh pegawai yang bukan pengurus maupun berdasarkan hubungan lainya berlaku prinsip Vicarious Liability atau tanggungjawab tidak langsung, prinsip ini menyatakan bahwa korporasi bertanggungjawab dalam kapasitasnya sebagai atasan atau Respondeat Superior terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahanya, pada prinsip ini berlaku pendekatan Directive dalam menemukan pentunjuk adanya kesalahan korporasi.
Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, secara terang dan jelas dalam menyingkap kekosongan hukum terkait pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Pada konteks pendekatan Derivative tertuang di dalam pasal 4 yang berbunyi :
(1) Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuanpidana Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi.(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahanKorporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindakpidana tersebut atautindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentinganKorporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untukmelakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar danmemastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku gunamenghindari terjadinya tindak pidana.
 Bahwa pada pasal 4 ayat 1 Perma a quo menerangkan bahwa suatu korporasi dapat untuk dimintakan pertanggungjawaban pidananya terhadap suatu undang-undang yang memuat norma tentang korporasi, kemudian pada ayat berikutnya yaitu pada ayat 2 huruf a adalah berlaku prinsip Derivative yang mana perbuatan pengurus suatu korporasi dapat disamakan dengan perbuatan korporasi tersebut.Pada huruf b dan c menerangkan bahwa Korporasi dapat dipersalahkan untuk melakukan tindak pidana apabila korporasi tersebut membiarkan terjadinya suatu tindak pidana ataupun berdasarkan huruf c Perma aquo adalah bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana nya apabila korporasi tersebut tidak melakukan pencegahan, mencegah dampak lebih besar serta kepatuhan terhadap ketentuan hukum hingga terjadi suatu tindak pidana.
 Pada konteks pendekatan Directive yaitu sifatnya sebagai suatu petunjuk untuk mencari unsur kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagai wujud kongkrit dari Vicarious Liability Perma aquo pasal 3 secara ekspresif verbis nya menerangkan sebagai berikut:
 "Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orangberdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendirimaupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupundi luar Lingkungan Korporasi"
 Sehingga ditafsirkan secara unsur bunyi pasal diatas bahwa suatu tindak pidana korporasi yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan hubungan kerja yang fungsional atau hubungan lainya, baik dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama korporasi dilakukan di dalam atau diluar lingkungan korporasi, dapat dimintakan pertanggunjawaban pidanaya secara korporasi.
 Kesimpulanya pertanggungjawaban pidana atas nama korporasi yang dilakukan oleh pengurus maupun karyawanya dapat dilakukan, baik dilakukan langsung oleh para pengurusnya maupun tidak langsung oleh para karyawanya seperti contohnya karyawan korporasi melakukan penipuan dengan atribut atau identitas korporasi, maka korporasi yang bersangkutan dapat dimintai pertanggungjawaban, sehingga hendaknya ketika melakukan perikatan dengan suatu korporasi hendaknya selalu hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian secara pidana kepada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H