Sore yang mendung di Hari Minggu, 22 Desember 2024, menjadi latar sebuah diskusi politik yang berlangsung di salah satu stasiun televisi nasional. Dalam acara Debat yang disiarkan langsung oleh tvOne, topik kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen memicu perdebatan sengit. Sorotan publik tertuju pada polemik ini, terutama ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dulu menjadi penggerak kebijakan tersebut, kini vokal menolaknya.
Di tengah ruang diskusi, Jajat Nurjaman, seorang pengamat politik senior, duduk dengan tenang. Kamera televisi fokus kepadanya ketika pembawa acara memberi giliran bicara. Dengan suara tegas, Jajat membuka diskusi.
"Kenaikan PPN ini bukan kebijakan baru. Ini adalah hasil dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang dirancang ketika PDIP berada di puncak kekuasaan," ujar Jajat, membuat suasana ruangan mendadak hening.
"Penolakan mereka saat ini," lanjutnya, "lebih terlihat sebagai gimmick politik menjelang pemilu daripada langkah nyata untuk rakyat."
Menggali Akar Masalah: Keputusan di Tahun 2021
UU HPP yang disahkan pada 2021 menetapkan kenaikan PPN bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, lalu menuju 12 persen pada 2025. Kebijakan ini dianggap strategis untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama dalam menutup defisit anggaran pasca-pandemi.
Namun, di tengah tahun politik 2024, isu ini menjadi senjata bagi berbagai pihak. PDIP, yang memiliki peran besar dalam pengesahan UU HPP, kini tampil sebagai partai yang menentang kebijakan tersebut.
"Ini inkonsistensi politik yang nyata," tegas Jajat. "Bagaimana mungkin sebuah partai yang menjadi motor penggerak regulasi ini sekarang tampil sebagai pahlawan dengan menolak sesuatu yang mereka sendiri rancang?"
Realitas di Lapangan: Suara Rakyat yang Terdampak
Di Pasar Senen, Jakarta, Maryati, seorang pedagang sayur, merapikan dagangannya sambil bercerita tentang dampak kenaikan PPN.
"Waktu naik jadi 11 persen, harga-harga naik. Pelanggan saya mulai mengurangi belanja. Kalau nanti naik lagi jadi 12 persen, saya tidak tahu bagaimana nasib kami," katanya dengan nada sedih.
Maryati adalah satu dari jutaan masyarakat yang merasakan dampak langsung kenaikan pajak. Sementara itu, di berbagai daerah, pedagang kecil dan masyarakat menengah ke bawah menyuarakan kekhawatiran yang sama.
Namun, di sisi lain, ekonom Dimas Pranowo menilai kenaikan ini tidak bisa dihindari. "Kenaikan PPN adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk memperbaiki kondisi fiskal negara. Ini memang memberatkan, tapi perlu dilakukan secara bertahap," jelasnya.
Tarik Ulur Politik dan Kepentingan Rakyat
PDIP kini vokal menyatakan keberatan terhadap kenaikan PPN, dengan alasan bahwa beban ekonomi masyarakat sudah cukup berat. Dalam berbagai kesempatan, para petinggi partai menegaskan bahwa mereka berdiri di sisi rakyat.
Namun, kritik terhadap sikap PDIP juga berdatangan. "Jika mereka benar-benar peduli, kenapa tidak mengusulkan revisi UU HPP di DPR? Ini lebih konkret daripada hanya berbicara di media," ujar Jajat.
Di ruang sidang DPR, wacana untuk merevisi UU HPP mulai terdengar. Namun, langkah ini membutuhkan dukungan mayoritas yang tidak mudah dicapai. Sementara itu, pemerintah berkomitmen menjalankan kebijakan yang sudah ditetapkan, dengan alasan demi kestabilan ekonomi.
Perdebatan di Media Sosial
Di media sosial, isu kenaikan PPN menjadi topik yang memecah opini. Sebagian mendukung PDIP sebagai partai "pro rakyat," sementara yang lain menganggap ini hanyalah strategi politik menjelang pemilu.
"Kalau PDIP serius, buktikan di parlemen. Jangan cuma bicara di TV," tulis seorang pengguna Twitter.
Sebaliknya, ada pula yang memahami kenaikan ini sebagai langkah tak terelakkan. "Kita butuh dana untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Memang berat, tapi ini langkah yang perlu," ujar komentar lain.
Akhir Debat: Tantangan untuk Bertindak Nyata
Di penghujung acara Debat, Jajat memberikan penutup yang menohok. "Rakyat tidak butuh retorika. Mereka butuh solusi nyata. Jika PDIP benar-benar pro rakyat, usulkan revisi UU HPP di DPR. Tunjukkan integritas, jangan hanya bermain di ranah opini."
Sore itu, meski diskusi berakhir, polemik kenaikan PPN tetap menggantung di udara. Di tengah hiruk-pikuk politik, rakyat menjadi penonton sekaligus pihak yang paling merasakan dampaknya.
Dan pertanyaan pun tersisa: apakah isu ini akan menjadi ajang politik semata, atau justru melahirkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat?
NB : Ini hanya pikiran liar saya yang dituangkan ke dalam tulisan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H