Saat itu tercetus ide mengajak kawan-kawan sejawat mengadakan penyuluhan Pendidikan Seksualitas (sex education)Â langsung ke anak-anak remaja di sekolah maupun di pesantren.
"Hemm, jangan bertema penyuluhan "sex education" ganti saja namanya, penyuluhan kesehatan reproduksi. Kalau pendidikan seks terkesan kita akan mengajarkan mereka untuk ber-seks, padahal enggak." mentor kami menyela saat berdiskusi tentang topik ini.
Tabu, seks itu tabu bagi sebagian besar orang tua dan anak-anak. Kondisi ini membuat peningkatan kasus pelecehan seksual, hamil diluar nikah, pernikahan dini, abortus dan penyakit menular seksual.Â
Minimnya pengetahuan tentang seksualitas akan menjerumuskan anak-anak remaja mencari tahu sendiri dengan menonton video porno, mencari info sendiri lewat internet atau membaca majalah dewasa.Â
Kebiasaan ini akan berpengaruh terhadap perilaku seksual hingga kekerasan seksual, misalnya pelecehan seksual, pemerkosaan, atau berhubungan badan saat masih anak-anak.
Pemerintah harus turut serta menjembatani pendidikan seksualitas untuk anak. Pasalnya, orang tua belum memiliki pengetahuan tentang seks yang komprehensif.Â
Orangtua amat berperan keikutsertaannya dalam pendidikan seksualitas. Sayangnya, kebanyakan orang tua jarang sekali membahas yang berbau "seks" padahal pengertian seks itu bukan suatu hubungan badan. Butuh kerjasama antara guru didik dan orangtua memberi pengetahuan dan pemahaman tentang seksualitas bagi anak-anaknya.
Sejak tahun 1999, Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) sudah mengajukan gagasan agar memasukkan pendidikan seksualitas kedalam kurikulum dan tahun 2016 kembali mengajukan. Namun dari pihak Kemendikbud, Hamid Muhamad (tahun 2016) menampik tudingan bahwa mengabaikan usulan tersebut.Â
Menurutnya, materi kesehatan reproduksi sudah masuk dalam kurikulum 2013. Hamid mengklaim pendidikan seksual tidak perlu diterapkan diluar kurikulum dan diterapkan mulai kelas SMP, alasannya anak-anak SD belum mendapat materi Biologi tentang reproduksi. Padahal anak SD-pun bisa menstruasi.Â
Saya ingat ketika kelas SMA, pelajaran Biologi diselipkan tentang pembahasan kesehatan reproduksi, namun yang dibahas adalah reproduksi secara anatomisnya dan tidak ada penyampaian materi mengenai perilaku dan hubungan seksual atau batasan dalam berpacaran.Â
Dilema inilah yang memicu saya untuk mengajak teman sejawat berupaya memberi pemahaman tentang seksualitas sejak dini, dimana sasaran kami melakukan kegiatan di sekolah.
Saat saya pertama kali menstruasi, saya panik bahkan menangis, saya bertanya mengapa pendarahan begini? Ibu saya menjelaskan tapi saya tetap cemas, apa yang terjadi tubuh saya kemudian? Perasaan ini pasti juga sama dirasakan oleh anak-anak yang pubertas apalagi belum memahami tentang seksualitas.
Pendidikan seksualitas tidak hanya mengajarkan anatomi alat reproduksi, perubahan tubuh pubertas dan penyakit reproduksi, melainkan memberi pemahaman bagaimana cara anak-anak menjaga alat reproduksi mereka dari pelecehan serta tahu batasan pergaulan dan berpacaran. Banyak anak terdiam saat mengalami pelecehan seksual karena mereka tidak paham.
Pengalaman penyuluhan sex education di beberapa sekolah begitu unik dan bikin terpana. Sebelum penyuluhan, kami menyebarkan kuisioner tentang pengetahuan seksualitas.
Dari 547 murid yang menjawab pengertian seks adalah 71% hubungan bersetubuh antara laki dan perempuan; 10% memasukkan alat kelamin laki ke alat perempuan; 8,5% proses membuat anak; 5,3% hubungan seks yang menyebabkan penyakit HIV; 2,7% perempuan akan hamil jika berciuman atau menyentuh sperma; 1,3% seks dilakukan saat sepi dan malam hari; 1,2% hubungan seks adalah negatif, orang yang memiliki pikiran dan kebiasaan negatif.
Selain itu, kita mengadakan games mengenai seberapa banyak kata julukan untuk menyebut nama lain alat reproduksi.Saking tabunya tentang seks, mereka malu menyebutkan nama alat reproduksi sehingga jika menceritakan alat reproduksinya mereka menggunakan nama julukan yang beragam.Â
Lihat saja hasilnya, jumlah nama julukan alat reproduksi lebih banyak daripada bagian tubuh lainnya.
Tahun 2019 KPAI mencatat, jumlah pelecehan seksual terhadap anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan. Jadi, baik anak perempuan atau laki berhak mendapat pemahaman tentang seksualitas.Â
Ada banyak sekali anak usia sekolah yang tidak terdaftar sebagai anak didik dalam artian mereka yang hidup di jalanan, terpaksa berhenti sekolah karena faktor kemiskinan juga meningkat kasus pernikahan dini dan pelecehan seksual.Â
Pendidikan seksualitas sangat penting tidak hanya untuk anak didik sekolah tapi juga bagi mereka yang tidak sekolah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI