Dengan begitu, kita belajar berpijak pada lantai kebijakasanaan. Memandang sesuatu bukan lagi pada kesadaran distingtif dualitas yang hitam-putih, baik-buruk, benar-salah.Â
Melainkan pada kesadaran meditatif, seperti langit yang menampung segala macam awan, baik awan hujan maupun cerah. Namun, langit tak terganggu dengan itu semua. Ia tak terganggu oleh beragam bentuk pikiran dan emosi yang dimiliki manusia.
Hal ini pula yang membuat kita tumbuh. Tapi disini kita coba highlight salah satu hal krusial ketika kita coba untuk memaknai suatu fakta, yaitu collect data.Â
Tipis untuk kita dapat membedakan mana subjektif pikiran kita, dengan data yang riil. Kebanyakan dari kita sulit untuk legowo menerima bahwa data yang riil ini berbeda dengan apa yang ada di kepala kita.Â
Karena ini nantinya berdampak kepada konklusi yang dihasilkan. Sebagai contoh: "Karim tidak membalas pesan Whatsapp selama lebih dari 3 jam."
Data ini riil, tapi dengan membuat abstraksi di kepala bahwa Karim tidak balas pesan WA lebih dari 3 jam artinya Karim sedang bermain dengan orang lain, ini belum kuat di katakan sebagai fakta.Â
Kita harus mengumpulkan beberapa additional data secara objektif untuk diolah sebagai informasi, kemudian di proses menjadi pengetahuan yang nantinya output dari semua proses ini adalah wisdom. Piramida DIKW, Warren Weaver.
Setelah kita mengerti memaknai peristiwa, sebab-akibat, kita mulai bisa meraba-raba ke depan seperti apa, dan yang datang berikutnya adalah tanggung jawab. Kita mampu menemukan cara bagaimana ke depan bisa menjadi lebih baik dengan stock memory yang kita miliki.
Lagi-lagi, sekarang tinggal bagaimana kita semua memanfaatkan alat berupa: memori (masa lalu) dan imajinasi (masa depan) kita untuk lebih siap dan berani menjalani hidup yang riil yaitu saat ini.
Ada salah satu kutipan yang saya lupa darimana, tapi ini menarik.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!