Mohon tunggu...
Yuda Pranaja
Yuda Pranaja Mohon Tunggu... Lainnya - Menungso

Kadang item, kadang putih. lebih sering abu-abu sii. Semoga kita klop

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wisata Masa Lalu, Haruskah?

25 Juli 2023   18:53 Diperbarui: 8 Agustus 2023   15:45 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Peristiwa yang terjadi di masa lalu. (Sumber: KOMPAS/Muhammad Sabil)

Naluri manusia untuk selalu mengingat peristiwa/moment yang penting atau berulang di hidupnya. Baik itu yang menyenangkan ataupun tidak. 

Tapi, kemudian hal yang menarik disini adalah cara kita merespons suatu peristiwa, yang kemudian hal ini mendorong kita untuk melakukan labeling (pada peristiwa) bahwa ini penting bagi hidupku, ini tidak. 

Tak bisa kita pungkiri, hal ini berhubungan baik secara langsung ataupun tidak, dengan jarak pandang, resolusi pandang, sudut pandang, dan cara pandang kita terhadap sesuatu.

Tidak sedikit dari kita terkadang ingin recall sejenak pada memori (baca: masa lalu) yang berkesan dan menyenangkan untuk --setidaknya kembali merasakan "surgawi" pada saat itu. 

Misal: masa kecil, masa sekolah, dsb. Kita bisa temukan pola ini berulang, ketika kita dewasa (dalam usia) kita merindukan masa kanak-kanak ketika bermain bola hingga adzan maghrib sampai berebut mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapatkan layangan putus.

Jika tidak dapat, ada salah satu dari anak-anak ini kemudian menggunakan distributive justice sebagai senjata dengan langsung merebut layangan kemudian merobeknya. Hahaha, bajingaannn. 

Kemudian ketika kita sudah berusia lanjut, kita merindukan masa-masa dimana kita masih fit untuk beraktivitas.

Setelah kita coba melihat pola ini, lalu muncul pertanyaan "apakah kita sebenarnya takut menghadapi masa depan? Sehingga kita lebih suka hidup dalam masa lalu.  Atau memang untuk menghadapi masa depan harus me-recall ke masa lalu?"

Hal ini menarik jika kita coba refleksi menggunakan determinisme, dimana dalam hidup itu tidak ada yang harus. 

Sekali lagi, tidak ada yang harus. Yang ada itu konsekuensi. Hubungan sebab-akibat. Harus melakukan apa, itu tidak ada. Yang terjadi adalah akibat dari sebab yang kita lakukan. 

Sebenarnya poin utamanya bukan pada peristiwa penting atau tidak penting, menyenangkan atau tidak menyenangkan --yang nantinya akan menjadi ingatan kita. Melainkan bagaimana kita bisa mengambil sebuah makna dari setiap peristiwa yang terjadi.

Dengan begitu, kita belajar berpijak pada lantai kebijakasanaan. Memandang sesuatu bukan lagi pada kesadaran distingtif dualitas yang hitam-putih, baik-buruk, benar-salah. 

Melainkan pada kesadaran meditatif, seperti langit yang menampung segala macam awan, baik awan hujan maupun cerah. Namun, langit tak terganggu dengan itu semua. Ia tak terganggu oleh beragam bentuk pikiran dan emosi yang dimiliki manusia.

Hal ini pula yang membuat kita tumbuh. Tapi disini kita coba highlight salah satu hal krusial ketika kita coba untuk memaknai suatu fakta, yaitu collect data. 

Tipis untuk kita dapat membedakan mana subjektif pikiran kita, dengan data yang riil. Kebanyakan dari kita sulit untuk legowo menerima bahwa data yang riil ini berbeda dengan apa yang ada di kepala kita. 

Karena ini nantinya berdampak kepada konklusi yang dihasilkan. Sebagai contoh: "Karim tidak membalas pesan Whatsapp selama lebih dari 3 jam."

Data ini riil, tapi dengan membuat abstraksi di kepala bahwa Karim tidak balas pesan WA lebih dari 3 jam artinya Karim sedang bermain dengan orang lain, ini belum kuat di katakan sebagai fakta. 

Kita harus mengumpulkan beberapa additional data secara objektif untuk diolah sebagai informasi, kemudian di proses menjadi pengetahuan yang nantinya output dari semua proses ini adalah wisdom. Piramida DIKW, Warren Weaver.

www.hiclipart.comDIKW Pyramid Knowledge Data Information System Wisdom
www.hiclipart.comDIKW Pyramid Knowledge Data Information System Wisdom

Setelah kita mengerti memaknai peristiwa, sebab-akibat, kita mulai bisa meraba-raba ke depan seperti apa, dan yang datang berikutnya adalah tanggung jawab. Kita mampu menemukan cara bagaimana ke depan bisa menjadi lebih baik dengan stock memory yang kita miliki.

Lagi-lagi, sekarang tinggal bagaimana kita semua memanfaatkan alat berupa: memori (masa lalu) dan imajinasi (masa depan) kita untuk lebih siap dan berani menjalani hidup yang riil yaitu saat ini.

Ada salah satu kutipan yang saya lupa darimana, tapi ini menarik.

"Everything is determined, the beginning as well as the end, by forces over which we have no control."

Versi bahasanya kurang lebih seperti ini,

"Segala sesuatu telah ditentukan, baik awal maupun akhir, oleh kekuatan yang tidak terkendali oleh kita."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun