"Aku takut kau akan memandangku berbeda. Aku takut kau akan menghakimiku," jawab Adrian dengan nada getir.Â
"Kau tahu nggak Alif, bagiku perayaan Imlek itu punya makna tersendiri lho. Di perayaan tersebut ada legenda tentang Nian, kisah yang berakar dalam cerita rakyat Tiongkok. Cerita ini telah diwariskan dari generasi ke generasi dan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Tahun Baru Imlek. Makhluk mitologis ini, yang dikenal karena sifatnya yang ganas dan menakutkan, telah menjadi katalisator salah satu tradisi paling penting dalam warisan budaya masyarakat Tionghoa." Ujar Adrian bersemangat.
"Penasaran kan, coba deh kamu simak narasinya Kak Andriyanto di laman Kompasiana. Kontennya telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Legenda Nian: Mahluk Mitologi Tiongkok yang Menginspirasi Perayaan Tahun Baru Imlek", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/andrixu/6798aefc34777c0ada724965/legenda-nian-mahluk-mitologi-tiongkok-yang-menginspirasi-perayaan-tahun-baru-imlek
Dalam keheningan itu, Alif merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perbedaan keyakinan: keberanian untuk menerima sahabat apa adanya.Â
Akhirnya, meski perjalanan mereka dipenuhi luka dan konflik, Alif dan Adrian menemukan bahwa persahabatan sejati tidak selalu tentang kesamaan, tetapi tentang kesediaan untuk terus saling mendukung di tengah perbedaan.Â
Mereka membuka kafe impian mereka yang diberi nama "Langit Jingga", sebagai simbol pertemuan dua dunia yang berbeda, tetapi tetap indah ketika berpadu.
Kafe "Langit Jingga" segera menjadi tempat favorit di kota itu. Dengan desain interior yang memadukan elemen tradisional Islam dan Tionghoa, kafe itu tidak hanya menyajikan teh khas Nusantara dan Tiongkok, tetapi juga menghadirkan suasana damai yang menyentuh hati setiap pengunjung.Â
Namun, perjalanan mereka belum sepenuhnya mulus. Di balik senyuman para pelanggan, masih ada bisik-bisik tentang persahabatan mereka yang dianggap "tidak biasa." Seorang pelanggan bahkan pernah terang-terangan bertanya, "Bagaimana kalian bisa rukun padahal keyakinan kalian berbeda jauh?"Â
Adrian hanya tersenyum. "Karena persahabatan kami bukan soal keyakinan, tetapi soal bagaimana saling memahami."Â
Alif menambahkan, "Kami mungkin berbeda jalan, tetapi tujuannya sama: mencari kedamaian."Â
Namun, konflik terbesar datang ketika keluarga Adrian memutuskan untuk menjual klenteng mereka kepada seorang pengembang. Ibu Adrian, yang awalnya menolak keras gagasan itu, akhirnya menyerah karena kebutuhan ekonomi. Hal itu membuat Adrian berada di persimpangan jalan: tetap menjaga tradisi keluarganya atau menerima perubahan demi kebaikan mereka.Â