Ruang rapat kantor lembaga negara itu dipenuhi bisik-bisik. Para staf sedang menunggu pengumuman resmi sembilan besar seleksi calon komisioner. Bu Yuni, sosok perempuan tangguh yang telah menjadi panutan banyak orang di kantor itu, duduk di pojok ruangan dengan ekspresi tenang. Namun, dalam hatinya, ia tak bisa membohongi diri. Ada kegugupan.
Ketika daftar nama diumumkan, suasana menjadi hening seketika. Nama Bu Yuni tidak ada di sana.
"Mustahil," bisik salah satu staf yang duduk di belakang.
Beberapa orang melirik Bu Yuni dengan penuh rasa simpati. Namun, seperti yang mereka duga, Bu Yuni hanya tersenyum kecil. Ia berdiri dan mengucapkan selamat kepada mereka yang berhasil lolos.
Namun, ketika Bu Yuni meninggalkan ruangan, langkahnya terasa berat. Di balik senyum itu, ia tidak bisa memungkiri rasa kecewa yang menggulung hatinya.
Tiga bulan sebelumnya, nama Bu Yuni menjadi pembicaraan hangat. Rekam jejaknya sebagai pemimpin yang tegas, jujur, dan penuh dedikasi membuat banyak pihak mendukung pencalonannya. Bahkan, beberapa kolega menyebutnya sebagai kandidat yang layak melanjutkan kembali berkhidmat di lembaga negara itu.
Namun, tidak semua orang menyukai kehadiran Bu Yuni. Ada desas-desus bahwa kandidat lain, yang didukung oleh seorang pejabat daerah, merasa terancam oleh idealisme dan popularitas Bu Yuni.
"Bu, saya dengar ada yang sengaja bermain di belakang layar," kata Zei, salah satu staf kepercayaan Bu Yuni, beberapa minggu sebelum pengumuman.
Bu Yuni hanya menggeleng. "Zei, kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain lakukan. Yang bisa kita lakukan adalah tetap bekerja dengan hati dan integritas. Selebihnya, biarkan Tuhan yang mengatur."
Zei menghela napas panjang " Rasanya berat ditinggal Ibu. Ibu lah yang selalu jadi alasan kenapa aku semangat kerja."