Pada era Reformasi, kegiatan yang sifatnya ekstraktif ini menjadi lebih leluasa untuk dilakukan secara temurun hingga pada tingkatan lokal. Dengan memanfaatkan jejaring desentralisasi, muncul peluang serta keleluasaan yang lebih lentur bagi para pengusaha ekstraktif untuk berjejaring dengan klik penguasa lokal yang dapat sewaktu-waktu dengan mudah mengkooptasi arena kebijakan berdasarkan kepentingannya.
Penguasaan jejaring kekuasaan negara menjadi satu kunci bagi keberlangsungan kejayaan ekonomi-politik oligarki. Dari komponen jabatan publik misalnya, jabatan strategis yang dapat memengaruhi dan menentukan kebijakan publik secara langsung harus dapat dikuasai oleh oligark untuk dengan mudah mendelegasikan kepentingannya. Jika ditinjau dari aspek epistemologis kekuasaan dalam konteks kebijakan publik misalnya, aktor yang memiliki otoritas akan berdiri di atas kewenangan untuk menentukan suara yang akan dipertimbangkan dan tak dipertimbangkan. Birokrasi dengan sistem kerja seperti ini mengindikasikan karakter birokrasi yang eksklusif dan berpotensi koruptif.
Salah satu hal yang menunjukkan perbedaan secara eksplisit antara Orde baru dan Orde Reformasi adalah mengenai kesamaan peluang untuk berkompetisi. Pada era ini partai bergelimangan, namun, efek positif dari apa yang disebut sebagai 'era Reformasi' dirasa nampak semu. Banyak wajah lama dari penguasa ekonomi-politik di Orde Baru yang kembali melanjutkan peran dan memperluas dominasi mereka. Saat ini, mereka mereposisi diri sebagai elite yang lebih mandiri di berbagai partai. Baik sebagai anggota hingga ketua umum.Â
Untuk nama ketua umum, kita mengenal nama Wiranto dari Partai Hanura, Surya Paloh di Partai Nasdem, dan Prabowo Subianto sebagai pendiri Partai Gerindra. Mereka merupakan orang-orang besar di era Orde Baru yang mampu melebarkan sayapnya, baik dalam bisnis maupun politik.
Jaringan patronase lama tidak lagi tersentralisir dalam satu kekuatan besar layaknya pada era Orde Baru yang mengungkung para elite di bawah ketiak Partai Golkar, saat ini mereka bisa bergerak lebih cair dan kompetitif melalui perbedaan aliansi parpol, namun bergerak demi tujuan yang sama yaitu penguasaan lembaga-lembaga negara. Ironi juga terjadi ketika pihak-pihak yang berasal dari komunitas progresif-liberal 'pemberontak' Orde Baru justru masuk menjadi elite partai dan terseret ke dalam iklim yang oligarkis. Pemikiran mereka dengan cepat terakuisisi dengan situasi di atas kenyamanan yang sifatnya jauh lebih elitis.Â
Partai politik merupakan sarana strategis bahkan satu-satunya bagi elite untuk menguasai jejaring kelembagaan negara secara komprehensif. Sebagaimana yang diungkapkan Hadiz (2003; 2013) bahwa partai politik digunakan sebagai kendaraan politik untuk mempertahankan kewenangan ekonomi-politik para oligark. Bahkan partai yang menstigma dirinya sendiri dengan kata 'nasionalis' dan 'kesejahteraan' juga terjerat dalam praktik koruptif. Ketimbang bekerja dengan basis ideologis dan orientasi kebijakan yang rasional, partai politik lebih menjadi eskalator bagi karier dan kesejahteraan elite.
Puncak kemenangan bagi partai politik adalah penguasaan lembaga negara melalui agenda pemilu. Dengan kata lain, dalam konteks ini, agenda pemilu merupakan sarana bagi para oligarki mengonsolidasikan keberadaannya di puncak lembaga negara. Satu hal yang menjadi penting, adalah dengan memprediksi keberlanjutan kekuasaan kelas patronase atas kekuasaan negara, terutama yang terkait dengan merebak dan berlanjutnya korupsi dan patronase lama.Â
Faktor struktural menjadi penting untuk dianalisis, mengingat bahwa amat banyak bekas elite Orde Baru yang saat ini memegang posisi kunci sebagai elite kepartaian. Tak sedikit juga jumlah dari mereka yang terafiliasi dengan kelompok bisnis tertentu. Surya Paloh misalnya, merupakan orang yang digadang sebagai king maker dari majunya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Prabowo Subianto malahan kembali lagi menjadi mencalonkan diri menjadi capres, berpasangan dengan Gibran Rakabuming, putra dari Presiden aktif Jokowi. Jika ditelaah lebih jauh, kedua orang tersebut merupakan seorang pengusaha besar, 'pemain' di bidangnya.
Penting diingat, makin besar ketersinggungan mereka dengan kelompok bisnis maka semakin memperbesar peluang terjadinya konflik kepentingan. Menganalisis struktur dan komposisi dari elite kepartaian akan menunjukkan kepada kita besar kecilnya potensi kebangkitan dari jiwa dan praktik predatorial 'lama' Orde Baru. Mewaspadai perilaku para elite tua dibalik kontes pemilu yang berharap bisa memusatkan kembali kekuasaan birokrasi menjadi kepemilikan langsung dirasa menjadi tak berlebihan, mengingat secara komprehensif jaringan Reformasi tak berhasil menghapus golongan lama.
Daftar Bacaan:
1. Hadiz, Vedi R & Richard Robison. (2013). The Political Economy of Oligarchy and The Reorganization Power In Indonesia. Southeast Asia Program Publications at Cornell University 96: 35-58.