Kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru yang berkuasa selama kurang lebih tiga dekade lamanya memunculkan suatu harapan bagi segenap pihak yang telah lama mengidamkan sistem politik kenegaraan yang bersifat lebih demokratis dan akuntabel. Munculnya angan tersebut terjadi karena pola kekuasaan dan budaya politik dari Orde Baru telah menunjukkan dampak nyata dalam membumihanguskan kebebasan dan keadilan yang menjadi hak dari masyarakat.
Pada rezim Orde Baru, konsep politik dengan orientasi negara-kuat (strong state) muncul dan berimbas pada kedudukan masyarakat yang sub-ordinat negara. Negara memiliki kekuasaan berlebih dalam menentukan segala kebijakan, sedangkan aspirasi dan partisipasi civil society terpinggirkan.
Orde Baru secara telak menguasai segala sektor kehidupan masyarakat, termasuk pada sisi ekonomi-politik. McLeod (2008) memperkenalkan suatu konsep untuk menjabarkan bagaimana Orde Baru dapat menciptakan jejaring kekuasaan di sektor ekonomi-politik, konsep ini ia namakan sebagai the Suharto franchise.
The Suharto franchise merupakan suatu sistem kapitalisme rente yang dipimpin oleh Suharto. Sistem ini bekerja untuk memusatkan dan mendistribusikan kekayaan yang dipungut oleh birokrasi hingga konglomerat menuju kepada Suharto sebagai patron. Sistem ini, selain berpusat pada Suharto, juga menggantungkan diri pada birokrasi. Dalam hal ini birokrasi digunakan untuk menciptakan kebijakan yang sengaja diarahkan untuk memberi keuntungan berlebih kepada para konglomerat. Dari sini maka nampak arti penting birokrasi bagi konglomerat. Hanya melalui kebijakan yang dibuat oleh birokrasi, konglomerat memiliki legitimasi untuk bisa melakukan monopoli terhadap sumber daya.Â
Pada titik di mana kekuasaan hanya dijalankan oleh suatu kelompok kecil dengan konsentrasi kekayaan yang besar dan ditujukan untuk wealth defense seperti pada kasus suharto franchise berikut, maka praktik oligarki telah mapan berdiri.
Pasca kejatuhan Orde Baru, beragam langkah reformasi politik ditegakkan. Gelombang reformasi 1998 yang berhasil menjatuhkan Orde Baru membebankan beragam amanat kepada generasi penerus, diantaranya adalah: mengadili Suharto dan kroni-kroninya serta menciptakan pemerintah yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Amanat tersebut selayaknya memberi suatu beban moral bagi generasi selanjutnya.
Namun, berbagai perubahan tersebut belum membawa suatu dampak yang signifikan, misalnya, bagi sirkulasi kekuatan sosial-politik dan bisnis-ekonomi yang ternyata masih banyak dijalankan dan dikusai oleh para predator lama yang telah berkuasa selama beberapa dekade ke belakang (Hadiz & Robison, 2013: 35). Praktik ini memunculkan kekuasaan dengan corak yang oligarkis, patrimonialistik, dan predatoris, alih-alih melindungi masyarakat.
Nama-nama konglomerat besar 'arsitek' Orde Baru seperti Bob Hasan, Eka Tjipta Widjaja, Prajogo Pangestu, dan Liem Sioe Liong tidak ikut hilang ketika rezim otoriter ini runtuh. Sebaliknya, mereka justru mampu survive pada sistem politik yang lebih diklaim lebih demokratis—dalam suatu ideologi yang secara normatif lebih manjur untuk menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan pemerataan sosial ekonomi.
Telah terjadi suatu praktik kontinuitas oligarki dalam pusaran kekuasaan. Dalam dinamika reformasi, praktik kerja stuktur warisan ekonomi-politik Orde Baru dan dampak yang menyertainya masih dirasakan hingga saat ini. Berkaca secara historis, kelanggengan keberadaan oligarki didasari oleh peran mereka yang dapat memberi manfaat bagi penguasa, begitu pula sebaliknya. Secara konseptual hubungan yang terjalin antar konglomerat dan penguasa adalah relasi yang bersifat menguntungkan sesamanya. Oleh karena itu, menjadi mustahil untuk berpikir menciptakan suatu sistem yang suci bebas dari gangguan para oligark.
Satu dari sekian banyak fungsi kunci yang dimiliki oleh penguasa adalah dengan memberi kemudahan akses bagi para pengusaha untuk melakukan bisnis ekstraksi terhadap sumber daya alam melalui hak konsesi yang pada akhirnya rawan berujung praktik monopoli. Sedang bagi penguasa, melalui hak konsesi yang telah diberikan kepada konglomerat, ia berfungsi untuk memberi supply dana. Dana tersebut dapat termanifestasi melalui beberapa jalur: jalur pribadi; partai politik; atau melalui suatu bentuk 'yayasan' yang notabene merupakan suatu tempat praktik pencucian uang, seperti yang terjadi pada rezim Orde Baru. Dana tersebut, kemudian bisa digunakan semata untuk menambah kekayaan pribadi maupun sebagai bantuan keuangan untuk sumber daya politik.
Pada era Reformasi, kegiatan yang sifatnya ekstraktif ini menjadi lebih leluasa untuk dilakukan secara temurun hingga pada tingkatan lokal. Dengan memanfaatkan jejaring desentralisasi, muncul peluang serta keleluasaan yang lebih lentur bagi para pengusaha ekstraktif untuk berjejaring dengan klik penguasa lokal yang dapat sewaktu-waktu dengan mudah mengkooptasi arena kebijakan berdasarkan kepentingannya.
Penguasaan jejaring kekuasaan negara menjadi satu kunci bagi keberlangsungan kejayaan ekonomi-politik oligarki. Dari komponen jabatan publik misalnya, jabatan strategis yang dapat memengaruhi dan menentukan kebijakan publik secara langsung harus dapat dikuasai oleh oligark untuk dengan mudah mendelegasikan kepentingannya. Jika ditinjau dari aspek epistemologis kekuasaan dalam konteks kebijakan publik misalnya, aktor yang memiliki otoritas akan berdiri di atas kewenangan untuk menentukan suara yang akan dipertimbangkan dan tak dipertimbangkan. Birokrasi dengan sistem kerja seperti ini mengindikasikan karakter birokrasi yang eksklusif dan berpotensi koruptif.
Salah satu hal yang menunjukkan perbedaan secara eksplisit antara Orde baru dan Orde Reformasi adalah mengenai kesamaan peluang untuk berkompetisi. Pada era ini partai bergelimangan, namun, efek positif dari apa yang disebut sebagai 'era Reformasi' dirasa nampak semu. Banyak wajah lama dari penguasa ekonomi-politik di Orde Baru yang kembali melanjutkan peran dan memperluas dominasi mereka. Saat ini, mereka mereposisi diri sebagai elite yang lebih mandiri di berbagai partai. Baik sebagai anggota hingga ketua umum.Â
Untuk nama ketua umum, kita mengenal nama Wiranto dari Partai Hanura, Surya Paloh di Partai Nasdem, dan Prabowo Subianto sebagai pendiri Partai Gerindra. Mereka merupakan orang-orang besar di era Orde Baru yang mampu melebarkan sayapnya, baik dalam bisnis maupun politik.
Jaringan patronase lama tidak lagi tersentralisir dalam satu kekuatan besar layaknya pada era Orde Baru yang mengungkung para elite di bawah ketiak Partai Golkar, saat ini mereka bisa bergerak lebih cair dan kompetitif melalui perbedaan aliansi parpol, namun bergerak demi tujuan yang sama yaitu penguasaan lembaga-lembaga negara. Ironi juga terjadi ketika pihak-pihak yang berasal dari komunitas progresif-liberal 'pemberontak' Orde Baru justru masuk menjadi elite partai dan terseret ke dalam iklim yang oligarkis. Pemikiran mereka dengan cepat terakuisisi dengan situasi di atas kenyamanan yang sifatnya jauh lebih elitis.Â
Partai politik merupakan sarana strategis bahkan satu-satunya bagi elite untuk menguasai jejaring kelembagaan negara secara komprehensif. Sebagaimana yang diungkapkan Hadiz (2003; 2013) bahwa partai politik digunakan sebagai kendaraan politik untuk mempertahankan kewenangan ekonomi-politik para oligark. Bahkan partai yang menstigma dirinya sendiri dengan kata 'nasionalis' dan 'kesejahteraan' juga terjerat dalam praktik koruptif. Ketimbang bekerja dengan basis ideologis dan orientasi kebijakan yang rasional, partai politik lebih menjadi eskalator bagi karier dan kesejahteraan elite.
Puncak kemenangan bagi partai politik adalah penguasaan lembaga negara melalui agenda pemilu. Dengan kata lain, dalam konteks ini, agenda pemilu merupakan sarana bagi para oligarki mengonsolidasikan keberadaannya di puncak lembaga negara. Satu hal yang menjadi penting, adalah dengan memprediksi keberlanjutan kekuasaan kelas patronase atas kekuasaan negara, terutama yang terkait dengan merebak dan berlanjutnya korupsi dan patronase lama.Â
Faktor struktural menjadi penting untuk dianalisis, mengingat bahwa amat banyak bekas elite Orde Baru yang saat ini memegang posisi kunci sebagai elite kepartaian. Tak sedikit juga jumlah dari mereka yang terafiliasi dengan kelompok bisnis tertentu. Surya Paloh misalnya, merupakan orang yang digadang sebagai king maker dari majunya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Prabowo Subianto malahan kembali lagi menjadi mencalonkan diri menjadi capres, berpasangan dengan Gibran Rakabuming, putra dari Presiden aktif Jokowi. Jika ditelaah lebih jauh, kedua orang tersebut merupakan seorang pengusaha besar, 'pemain' di bidangnya.
Penting diingat, makin besar ketersinggungan mereka dengan kelompok bisnis maka semakin memperbesar peluang terjadinya konflik kepentingan. Menganalisis struktur dan komposisi dari elite kepartaian akan menunjukkan kepada kita besar kecilnya potensi kebangkitan dari jiwa dan praktik predatorial 'lama' Orde Baru. Mewaspadai perilaku para elite tua dibalik kontes pemilu yang berharap bisa memusatkan kembali kekuasaan birokrasi menjadi kepemilikan langsung dirasa menjadi tak berlebihan, mengingat secara komprehensif jaringan Reformasi tak berhasil menghapus golongan lama.
Daftar Bacaan:
1. Hadiz, Vedi R & Richard Robison. (2013). The Political Economy of Oligarchy and The Reorganization Power In Indonesia. Southeast Asia Program Publications at Cornell University 96: 35-58.
2. Hadiz, V. R. (2003). Considering the Idea of 'Transition of Democracy' in Indonesia. In A. Priyono, S. A. Prasetyo, & O. Törnquist, Indonesia Post Soeharto's Democracy Movement. Jakarta: Demos.
3. Mc Leod, Ross. (2008). Institutionalized Public Sector Corruption in Indonesia: A Legacy of the Suharto Franchise. In Aspinall, E & Gerry Van Klinken, The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KLTV Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI