Fenomena ini merusak citra partai yang semula merupakan suatu institusi demokrasi, menjadi institusi yang berwatak otokratik-oligarkis.
Politik Indonesia
Fenomena di atas tentu tidak mengecualikan Indonesia. Di negara ini, beberapa partai bahkan telah dihinggapi oleh elitisme yang menyangkut ketergantungan yang nyaris total terhadap figur. Dalam nuansa seperti ini, tidak heran kalau kemudian berbagai peristiwa politik lebih identik  berbau sebagai konsensus antar kekuatan eksklusif dari balik layar yang sesungguhnya adalah aspirasi dari para elite. Agenda tersebut dikhawatirkan tak lebih dari sekadar suatu penggembira dan pemberian legitimasi atas kehendak para elite pada partai tersebut, tanpa adanya upaya akomodatif terhadap suara-suara dari pihak lain yang lebih penting untuk dipertimbangkan.
Tahun-tahun belakangan ini misalnya, kita disuguhkan oleh serentetan pagelaran politik yang begitu bising. Anehnya, kebisingan tersebut hampir-hampir selalu dimulai oleh partai politik. Simak saja misalnya mulai dari "kudeta" Partai Demokrat, perumusan UU Omnibus Law Ciptaker, hingga yang teranyar yaitu isu perpanjangan masa jabatan presiden. Semua isu tersebut barangkali memiliki substansi permasalahan yang berbeda. Namun secara mendasar apabila dilihat dari perspektif hukum besi oligarki Michels, maka akar dari penyebab permasalahan itu semua adalah pertarungan kepentingan kepartaian, khususnya di level elite.
Bagi Saya, pertarungan kepentingan besar yang dilakukan antar partai jelas adalah pertarungan antar para elite di pucuk kekuasaan. Hal itu bahkan mungkin saja dilakukan dengan didasari oleh kepentingan sepihak, tanpa adanya pertimbangan dan perhitungan suara kader maupun simpatisan pada tingkat akar rumput. Kecurigaan kita dapat semakin meningkat jikalau kepentingan yang dicetuskan oleh partai tersebut tidak membawa suatu gagasan yang populer dan populistik. Alih-alih menciptakan suatu respon positif dan dukungan di masyarakat, hanya keributan sajalah yang didapat.
Pertarungan antar elite tersebut sejatinya dapat kita lihat dari beberapa tujuan. Pertama, keinginan bagi mereka untuk mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan, dan kedua, kebutuhan mempertahankan resources lewat pernak-pernik kebijakan yang dapat mereka buat dan pengaruhi.
Dalam kasus perumusan UU Omnibus Law Ciptaker misalnya, kita dapat melihat bagaimana kekuatan para elite partai, baik di pihak eksekutif maupun legislatif melebur menjadi satu lewat terbentuknya suatu satgas maupun panja perumusan regulasi ini. Dalam komposisi satgas dan panja ini, kita dapat melihat bahwa saat ini "garis batas" antara pejabat publik dengan pebisnis nyaris hilang. Artinya, terdapat ketercampuran status antara pejabat publik dengan pebisnis aktif yang secara mayoritas juga merupakan elite partai.Â
Regulasi ini nampaknya juga bukan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pasalnya dalam proses perumusan yang mengikutinya, gejolak penolakannya begitu tinggi. Bahkan gelombang penolakan tersebut sampai kepada kelompok buruh. Entitas buruh adalah pihak yang dianggap oleh otoritas akan "diuntungkan" lewat regulasi ini. Tetapi pada sisi lain, mereka justru menjadi salah satu pihak penolak regulasi Ciptaker.
Maka, pertanyaan besar yang kini telah menjadi umum, adalah: untuk siapa sebenarnya regulasi tersebut? Kelompok buruh? Atau justru kekuatan lain di luar kelompok buruh? Mengapa ketika Ciptaker ini diklaim sebagai sesuatu yang menguntungkan buruh, mereka justru menolaknya? Dan, apakah pihak otoritas tidak mendengar dan memperhitungkan aspirasi masyarakat pada tingkat akar rumput terkait perumusan regulasi ini?
Partai Buruh
Buruh adalah entitas yang berpotensi menjadi suatu kekuatan sosial-politik paling besar di Indonesia. Apabila kita merujuk kepada pengertian buruh dari Oxford Dictionary misalnya, buruh merupakan orang yang dipekerjakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan/upah. Artinya, komposisi buruh di Indonesia sangat besar. Tetapi pada sisi lain, walaupun mereka merupakan suatu kekuatan yang besar, dalam lapangan politik hampir-hampir suara mereka tidak pernah diperhitungkan. Pasalnya seperti yang sudah dijelaskan pada bagian atas, besaran jumlah mereka dikalahkan oleh kekuatan yang dimiliki oleh suatu "kelompok kecil" namun dengan kepemilikan resources yang jauh lebih besar. Alhasil, mereka hanya menjadi suatu kelompok subordinat dan marginal.
Pada titik itulah, mereka membutuhkan suatu integrasi kekuatan, yang di Indonesia dan pelbagai belahan negara lainnya, diwujudkan salah satunya lewat suatu bentuk organisasi partai sosial-politik perburuhan. Secara prinsipil, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian atas, partai adalah sarana akomodatif, agregatif, aspiratif, dan artikulatif terhadap pasar dari konstituennya. Maka dalam hal ini, partai buruh adalah entitas yang akan paling mewakili kepentingan para buruh.