Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putri Menara; Para Babar, Naga dan Puisi

3 Desember 2016   13:38 Diperbarui: 3 Desember 2016   15:14 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun sepertinya ia dapat membaca pikiranku, diangkatnya kepala yang terluka melewati kepalaku, darah bercecer bagai rintik hujan, satu kepala lain berusaha menggigitku, reflek aku menggelinding bagai batang rokok yang digulir kearah teman akrab. Secepat mungkin aku berdiri, berlari kearah kerumunan kepala, dengan leher sepanjang itu meliuk menyerangku akan sulit jika jarak terlalu dekat, fokusku tetap kepada kepala yang terluka.

Entah ia lengah, kepala yang terluka ia turunkan seraya memasukkannya kedalam pedalaman, perlahan, aku tahu, leher yang tersayat separo disebelah kiri dapat aku gapai dalam beberapa langkah, kuhitung langkah, dua langkah momentum gerak masuk lehernya dengan arah aku berlari akan searah pangkal lehernya, satu langkah, dua langkah aku melompat, reflek, mulutku berteriak bagai mahkluk-mahkluk barbar yang menyebut dirinya prajurit yang bercecer disana.

Darah memuncrat kewajahku, tembasanku tepat menggenapi tebasan di pangkal lehernya disebelah kiri, teriakkan sang naga dari kepala-kepalanya menyiksa telinga, seluruh kepalanya meliuk-liuk, seluruh kepalanya berayun-rayun keatas-kebawah menghantam tanah bergantian secara acak, kepalanya yang terluka berayun hampir terbelah, hanya sebagian kulit yang mencegahnya  tak lepas sepenuhnya, kepala-kepala itu masih meliuk tak karuan, aku menghindar dengan susah payah, darah naga muncrat sana-sini, dan putus.

Kepalanya putus karena tenaga liukannya sendiri, semua kepala dengan cepat masuk ke pedalaman. Dan api menyembur dari mulut menara agung, membakar seluruh peleton, membuyarkan semua formasi, dan aku hanya dapat menyaksikan membisu, terbenam dalam rasa takut, kengerian dan kematian yang berjarak seujung jari, aku berlindung dalam tumpukan mayat, merasakan panas, merasakan tubuh mereka terurai dan melebur bersama api sedikit demi sedikit.

Suara-suara kuda merintih membangunkanku, kurasai cahaya menyegat mataku,  menyusup melalui celah-celah kain tenda yang berlubang-lubang dan usang, kurasai tubuhku, kurabai mereka, memastikan masih tergenapi. Diluar terasa tak asing, suara bising meriam masih terdengar, aku melintasi jajaran tenda, di kanan dan kiri prajurit dan ksatria mereka bergantian seolah sudah direncanakan memandangiku dan menghentikan urusannya, seorang berdiri menghampiriku, ia bertubuh besar dan berbau apek, aku ingin melangkah melewatinya tapi kehadirannya menghentikan langkahku, tak berani kutatap matanya yang jauh diatas kepalaku, aku tertunduk, merasa khawatir.

Mulutnya bergerak, dengan suara agak membentak ia berkata “oh, ini dia rupanya, penjaga kuda yang beruntung...”  kemudian terdiam, tiba-tiba melunak “hati-hati” sambil menepuk pundakku, kemudian meninggalkanku.

Seorang meremas pundakku dari belakang, suara yang begitu berwibawa segera menyusul menusuk telinga, “kau penjaga kuda! lebih baik aku menjadikanmu ksatriaku, sia-sia jika bakatmu tidak dipergunakan dengan baik.”

Tanpa menoleh kebelakang, “dengan segala hormat, maafkan saya pangeran, kemarin hanyalah sebuah keberuntungan” suaraku serak dan tak teratur, kurasai tenggorokanku sangat kering dan gatal.

Ia melepaskan gengamannya, kemudian melewatiku, melambaikan tangan memberi isyarat untuk mengikutinya, aku mengikutinya dari belakang, dalam setiap langkah semua mata tertuju padaku, aku tak peduli, dalam benakku hanya ada sekantong koin perak upah dari kerjaku menjaga kuda.

kami terus berjalan menjauh dari tenda-tenda, masuk diatara pepohonan, kemudian ia duduk disebatang pohon yang tumbang lalu menyilakan aku duduk berhadapan dengannya, aku gugup, kemudian duduk bersila di tanah.

Ia memulai “berapa upahmu untuk menjaga kuda?” tatapan matanya yang tajam menusuk mataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun