Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Masyarakat yang Kecanduan Sekolah

24 Oktober 2016   18:12 Diperbarui: 24 Oktober 2016   18:22 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Etika, filosofi hidup, berperilaku, beradaptasi dengan lingkungan, tidak secara langsung dapat dipahami seseorang begitu saja. apa yang disebut sosialisasi, yang didefinisikan sebagai proses belajar tidak begitu luas dalam mengkaji bagaimana seseorang dapat memahami dirinya dan cara berperilaku dalam lingkungan seta bertahan hidup melawan alamnya. 

manusia pada dsarnya tidak pernah sekalipun benar-benar diajari oelh seseorang, secara nyata seseorang belajar memahami lingkungan dengan sendirinya, bukan sebaliknya. dengan demikian betapun kerasnya seseorang diceramahi, penceramah dalam sudut pandang seorang pendengar, hanyalah satu dari keseluruhan alam yang dihadapinya. 

seperti dalam kasus kebudayaan lama yang kerap dituduh sebagai kebudayaan tradional, pada isu-isu terkini banyak keluhan atas hilangnya nilai-nilai luhur yang di rumuskan nenek-kakek moyang dulu, terkikis oleh teknologi dan segala macam kebudayaan baru yang dibawanya. ini bukan salah siapa-siapa, bukan salah pemerintah atau dunia, namun semua itu adalah niscaya.

sekolah muncul dan berkembang dimasyarakat, mengikuti perkembangan kebutuhan atasnya, jika dahulu menurut sejarah, sekolah-sekloah didirkan oleh kolonial demi kepentingan untuk penambahan tenaga ahli dari kalangan pribumi yang dimaksudkan karena, kebutuhan atas tenaga kerja dari negerinya sendiri tidak mencukupi, kemudian setelahnya muncul organisasi-organisasi pribumi yang menderikan sekolah demi kebebasan berpikir dan berpendapat, sampai yang kita ketahui sampai sekarang.

langsung saja, setelah masyarakat indonesia telah menemukan kemapanan, kebutuhan atas sekolah menjadi semakin tinggi, mengingat keadaan politis-sosial dan ekonomi yang membutuhkan pribadi unggul dari skala pengukuran IQ,EQ, dan akhir-akhir ini berembang pula pengukuran tak berguna seperti SQ, yang menurut para ahli, sebagai upaya untuk mencerdasarkan anak bangsa yang kemudian membuat kemajuan pada negeri yang diindikatorkan dalam pertumbuhan ekonomi. 

didalam masyarakat sendiri, masalah seperti pengangguran dan pekerjaan, memicu kemunculan sekolah yang berorientasi pada teknik, spesialisasi, dan informal bereaksi atas kebutuhan masyarakat pada skill dan kemampuan. karena tanpa itu semua seorang akan sulit untuk masuk kedalam sistem sosial dan mampu masuk kedalam aliran kapital yang dapat menghidupinya. maksudnya soal pekerjaan dan kesejahteraan.

persaingan didalam masyarakat sendiri sudah sangat ketat, apalagi dipulau jawa yang kini banyak yang lupa diri dan meninggalkan cangkul. persaingan demi kehidupan, siapa yang mau mati kelaparan, tidak ada perdebatan atas itu semua. bukan hanya kebutuhan atas itu kebutuhan atas etika, nilai luhur dan lain sebaginya mendesak kurikulum semakin kompleks dan membutuhkan tenaga ahli yang rata-rata di sekolah hanya sarjana strata satu yang diharap superior dan jenius, yang hemat kata mustahil tercapai.

beberapa hal yang dilupakan atas implikasi pada sekolah, banyak dilupakan, juga peran dan fungsi yang diambil oleh sekolah, lambat laut, sedikit demi sedikit ikut andil dalam terkikisnya tradisi dan kultur lokal, atau budaya lama yang disebut tradisional. institusi yang sudah mapan didalam masyarakat alih-alih sebuah kemajuan, pada dasarnya hanyalah satu gejala dari berubahnya kebudayaan, yang walau, banyak ahli salah mengertikan kebudayaan dengan memahaminya dengan mempelajari hartefak dan esensinya saja.

Pembentukan Kesadaran, Rutinitas dan Kebudayaan

tidak ada yang alami dengan kesadara, apalagi rutinitas keseharian yang kemudian termanisfestasi dan dibekukan menjadi kebudayaan. kesadaran adalah awal mula dari segala penyebab dari segala macam fenomena sosial, penyimpangannya adalah bentuk dari kreatifitas dan penerimaannya adalah bentuk stagnanasinya. namun, kecenderungan berubah tanpa disadari adalah yang paling besar adanya.

setiap orang menyadari diriya, menyadari dengan sadar telah membentuk kesadaran, yang didalamnya adalah jati diri dan segala macam tujuan hidup serta logika berpikir, namun secara luas, sedikit yang menyadari bahwa arah gerak budaya, cara berpikir dan berperilaku, dari jaman-ke jaman tidak ada yang dapat mengendalikan perubahannya. 

Kesadaran bahawa revolusi mental, perluasan ide kemanusiaan yang adil dan beradap, tidak mungkin terjadi semaunya sendiri harus disadari, pasalanya, ketidak pahaman bagaimana kesadaran tiap generasi tidak pernah mengalami transfernya secara sempurna sehingga selalu berubah, adalah perlu untuk menindak lanjuti, menerka dan sedapat mungkin menemukan cara agar kelak bangsa ini tidak terjerumus dalam kebiadaban dan kehancuran.

masyarakat mulany tidak mengenal sekolah, dan pada dasarnya transfer budaya, pengetahuan tentang etika, nilai norma tidak begitu saja seperti proses ajar-mengajar, tetapi hadir dan tertansfer melalui aktivitas bersama orangtua dan generasi muda. semisal, pemahaman tentang bagaimana memperedeksi musim untuk kepentingan panen, pengetahuan tentang penanggalan bulan jawa, secara luas hadir dalam rutinitas. 

rutinitas adalah kunci dari transfer pengetahuan, transfer budaya, nilai-norma dan etika, bukanlah sekolah. bahkan, jikalau ada sekolah, hal semacam itu akan sama. 

hal itu bukanlah omong kosong, jelasnya adalah, setiap sekolah pada dasarnya dalam sudut pandang mayarakat, kini menjadi momen yang harus dilalui seperti laki-kali harus sunat dalam islam, sebuah keharusan hidup, jika memang seseorang hidup dalam masyarakat ini. kesempatan sekolah mengambil banyak luang waktu berimplikasi berubahnya rutinitas lama menjadi rutinitas baru yang ada sekolahnya, artinya; sekolah adalah objek kenyataan berada dalam alam seseorang yang dipelajarinya.

luang waktu yang seharunya untuk tranfer budaya orang tua kepada generasi muda, diganti dengan berkativitas yang dinamakan bersekolah, dengan demikian, kesan-kesan yang membentuk kesadaran banyak diambil alih oleh sekolah. 

persoalan ini bukan persoalan remeh, karena didalam aktivitaslah seorang membentuk jati diri dan kesadaran, jika dalam rutinitas (:pola aktivitas) terdapat bersekolah, yang menghabiskan banyak waktu hidupnya, sekolah, mengambil peran yang begitu besar pada kesadaran manusia, dan ini sangat berbahaya, jika kurikulum nasional salah arah, dan dibuat sesuka hati tanpa ada penelitian serius, maka dapat dibayangakan apa yang terjadi pada generasi berikutnya.

sekolah akhirnya menjadi penting, karena menjadi rutinitas keseharian, maka dapat disebut kebudayaan secara luasnya. term tentang mencerdasakan anak bangsa, indonesia pintar, dan lain sebagainya, menandakan, kebutuhan pada sekolah dan ketergantungan masyarakat pada sekolah.

ketergantungan sangatlah berisiko, karena jika, ada sesuatu kejadian, yang tidak ada dalam pelajaran sekolah, karena pengetahuan, informasi dan lain digantungkan pada kehadiran sekolah, yang tidak ada dalam sekolah maka akan membingungkan dan membuat seorang menghabiskan waktu agaklam untuk mempelajarinya dalam dunia diluar sekolah, setelah paham dengan belajarnya sendiri, seseroang pada akhirnya memunculkan perasaan jengkel pada sekolah. yang kemudian hari seorang pengusaha ada yang mengatakan "kuliah itu bodoh" kalau tidak salah.

Waktu Adalah Kehidupan, Tidak Selayaknya Dipermainkan

apakah hidup ini hanya untuk masuk ruangan dan kemudian diceramahi? apakah hidup ini hanya untuk belajar enam belas jam sehari? apakah hidup ini hanya untuk patuh dan mendengar? apakah hidup ini hanya untuk menghormati guru? apakah hidup ini hanya untuk konservatif dan taat pada nilai norma, style pakaian yang berlaku? jawabnya tidak demikian namun sekolah dan beudaya belajar untuk masa depanlah yang mengajarkannya.

sekolah dan belajar yang lama adalah kesia-siaan, karena pada akhirnya hanya bertujuan lulus ujian, sekolah pada akhirnya adalah kesia-siaan karena pada akhirnya waktu yang sedemikian banyak habis untuk mendapat secarik kertas pengakuan pintar, yang disebut ijazah.

hidup seseorang dan cara berpikirnya dipengaruhi rutinitas, kemonotanan rutinitas membuat pikiran tumpul dan malas berpikir, apa yang disebut belajar hanyalah mengingta, dan jika ada yang menerapkan metode belajar dengan latihan soal, mengatakan itu untuk daya pikir, maka pertanyakan pola pikir macam apa yang akan mau dibentuk dengan soal dalam kerta, yang ditemuinya hanya dalam bacaan, pada akhirnya juga latihan hafalan, omong kosong.

waktu adalah kehidupan itu sendiri, dan semua orang berlagak tak peduli. anak-anak dipaksa untuk menjalani rutinitas yang dianggapnya baik tanpa pernah ingin sedikit berpikir bahawa semua itu hanyalah ilusi dan omong kosong. omong kosong jika semakin banyak waktu dihabiskan disekolah membuat seorang akan sukses dikemudian hari, padahal kunci untuk sukses adalah menjilat, koneksi, dan modal, baru kemudian angka nilai. tapi beda dengan wirausaha, skill dan pengalamannlah yang berpengaruh, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan sekolah.

waktu adalah kehidupan yang akan berasa hidup jika dihabiskan dengan aktivitas, bekerja, senang-senang dan sebagainya, tapi sekolah, sejak kapan sekolah masuk didalam kehidupan. didalam sekolah yang begitu lama, membuat orang lupa bagaimana seharusnya hidup didunia, yang dikethui dunia adalah seperti sekolah. 

Beberapa Tuntutan untuk Kualitas Guru

sulit mana mengajar anak berumur lima tahun dengan yang sudah lima belas tahun? susah mana mengajar anak lambat paham dengan jenius? 

pertanyaan ini lah yang sering dilupakan untuk ditanyakan, melihat TK, melihat SD melihat SMP dan SMA, pengajarnya rata-rata hanyalah S1, dan siapakah orang bodoh yang memperingan masuknya seseorang menjadi guru? seharunya guru-guru pada jenjang dasar dan menengah adalah mereka yang lebih pintar dari pada dosen, mereka harus spesialis dan spesialisasinya haruslag benar-benar terdidik dan matang.

guru sekolah dasar harus menguasai psikologi, sosiologi, dan paling penting filsafat. passsion keilmuannya harus jelas, sehingga menguasai bahan ajar, guru harus benar-benar beritika tinggi, berkepribadian baik, otaknya super jenius juga tidak tempramen. perekrutan guru seharunya melalui banyak test, bukan saja test cpns, atau test-test tulis, harus diwawancarai secara ketat, di test mentalnya apakah bermasalah atau tidak. juga, setiap guru harus cantik-ganteng, atletik dan pandai silat atau beladiri.

seorang guru haruslah semacam itu, manusia superior pilihan yang dipilih dan disaring dengan sangat ketat, bukan guru ecek-ecek yang bermodal nekad dan do'a serta jilat sana-sini saja. seorang pengarjar yang baik harus memiliki ingatan yang diatas rata-rata, karena mengingat setiap persoalan individual dari seorang murid, setiap guru harus mengenal dan paham mental dan fisik muridnya, mengajar dengan teknik yang tepat dan cermat bagi tiap individu dalam kelas. 

degan kata lain seorang guru harus sempurna lahir batin dan fisik. kalau tidak demikian penajaranya akan salah arah, minimal IQnya 200 ke atas, juga EQ dan SQnya, sehingga jika menuntut murid untuk sehari 24 jam belajar, bisa dibenarkan, dan tidak terkesan munafik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun