Mohon tunggu...
Yuda Y. Putra
Yuda Y. Putra Mohon Tunggu... Sales - Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Mimpiku semalam, kau datang membawa seorang bayi di tanganmu, uh, tidak aku tidak mau. Bawa kembali!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Kosmis

6 Oktober 2016   13:17 Diperbarui: 6 Oktober 2016   14:25 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah angin pagi selalu begitu membingungkan, kadang aku merasa ada suara didalamnya, mengadung pesan akan masa depan. Ah! Andai saja aku benar bisa mengartikan maksudnya mungkin aku bakal menjadi penjudi paling mujur.

langkahku kian terhenti detengah anak tangga yang kuturuni, begitu lambat, seperti sesuatu membelenggu kakiku, entah apa itu, mungkin tangan-tangan setan, atau rantai gaib, atau dedemit yang merangkul betisku, entahlah rasanya berat.

Anak tangga terakhir berhasil kulewati, anak tangga yang berjumlah empat saja, menyambungkan halaman dan teras, ah! Mengapa perjalanan sinngkat menjadi sangat panjang.

Angin menghembus kembali, membelai wajahku seperti seorang kekasih. Oh! Beginikah kau angin, begitu inginnya dirimu bermesraan denganku.

Kakiku kembali terasa berat, begitu juga hatiku yang kian meggelembung menambah sesak didada, angin kembali merangsang pipiku. Dalam hati aku berkata; “Oh! Beginikah, beginikah hidup.”

Dedauanan menari bersama angin melambai padaku seakan berkata; “kembalilah, kembalilah, orang-orang berlalu lalang di jalan, sibuk dengan rusanya, yang mungkin bukan untuk dirinya.”

Kumantapkan hatiku, kulawan segala pertanda, kumantapkan kakiku, ah! Dedaunan bukan menari barsamaku, namun untuk mengejek. Roboh, duduk dianak tangga, melamun di pagi hari semacam kemewahan yang dunia tak akan mengijinkannya.

Kupandangi tali sepatu, kupandangi jemari yang kian tebal beradaptasi dengan mesin-mesin pembuat sepatu-sepatu, dan segala macam hawa panas dari berbagai benda, “bukankah indah jika hidup dapat terus merasakan kemewahan ini, kemalas-malasan adalah kemewahan, hanya mereka yang tak khawatir akan hari esok yang dapat merasakan kemewahan seperti ini,” kataku kepada dedauanan yang menari mengejek.

Awan semakin menjadi kelabu, seperti enggan kembali menjadi putih, awan kelabu menatapku menantang, seakan mengancam akan menurunkan kenangan, kenangan pahit, kenagangan patah hati, kenangan atas sesal-sesal. “betapa menyedihkan diriku, begitu banyak kenangan, begitu banyak ingatan yang membelenggu, walau begitu kenanganlah yang menyatukan jiwa antar manusia.” Kataku lagi pada dedaunan, yang begitu angkuh diam tak menjawab, hanya menari dan mengejek.

Beginilah, begitulah, diperintah dan memerintah, semua telah tertulis pada telapak tangan, menjadi yang memerintah, maupun menjadi yang diperintah, selamanya yang diperintah, tak pernah mendapat kesempatan untuk berdebat, karena bagi semua yang memerintah, kami adalah budak yang dapat diganti dengan mudah, kami yang murah dan banyak, mudah didapat dari peternakan manusia-yang-diperintah yaitu; sekolah.

“hay daun, mengapa kau diam, mengapa kau mengejekku yang sedang diancam awan kelabu,” dedauanan masih saja menjadi angkuh, tak sudi menjawabku, awan-awan masih kelabu dan tetap enggan memutih.

Aku berteriak pada dunia; “baiklah, sudahi semua, aku bukanlah lahir menjadi budak, telapak tanganku sudah tak lagi bergaris, tak ada garis lagi karena menebal beradaptasi, ah sudahlah kusudahi hari ini, aku muak denganmu dunia, yang tak memberi kesempatan untuku menjadi tuan.”

Awan sepertinya marah karena teriakkanku, awan bagian dari dunia bagian dari lingkaran siklus kosmis seluruh alam semesta, bagaian dari siklus kosmis yang menjadikanku bidak-bidak garis depan yang kecil dan hanya memiliki satu jalan.

Awan mulai geram gelagatnya semakin menakutkan, diturunkannya segala tetes kenangan dengan lirih, menyiksa batin secara perlahan. Kakiku gemetaran, dalam hati aku ketakutan, inginku menuruti pertanda kosmis dan melangkah menuju pabrik-pabrik dan menjadikanku sebagai bagian komponennya.

Namun, ada suara lain yang membisiki langsung masuk dalam hatiku, suara yang lembut, suara gaib, berkata; “sudahi perbudakan atas dirimu wahai manusia bebas,” kemudian aku mencari-cari asal suara, aku bertanya balik; “bagaimakah aku bisa keluar dari perbudakan wahai sang gaib?” tak ada jawaban, angin bekerja sama dengan tetes kenangan menyerang wajahku, hatiku mulai gelisah, kakiku gemetaran, tubuhku juga, hanya tangaku untuk menghagatkan tubuh, namun semua tak akan cukup melawan seluruh jagad raya, semua menentangku.

Aku berteriak memekik,;”siapa kah engkau wahai suara gaib,” suara gaib menyahut, dengan lembut, dengan halus, langsung masuk dalam pikiran berkata; “aku adalah setan dalam hatimu, aku lah satu-satunya yang mengulurkan tangan padamu.”

Berteriak aku kembali; “jika engkau adalah temanku, mengapa engkau menyesatkanku,” suara gaib menjawab lagi, kali ini semakin tidak jelas, karena terhalang angin juga tetesan kenangan, “yah, aku menyesatkanmu, tak akan kau menemukan ketak-menyimpangan pada setiap kataku, kau adalah kau, lawanlah jagad raya, juga siklus kosmis yang membelenggu kakimu,” aku terdiam merenungi jawaban dari sang gaib, setan dalam hatiku, kemudian berteriak kembali; “bagaimana aku melawan jagad raya, aku adalah bagian dari siklus kosmis.” Suara –suara itu kembali, suara gaib, suara setan dalam hatiku; “berhentilah menjadi bagian dari siklus kosmis orang lain, buatlah siklus kosmismu sendiri.”

Suara gaib semakin membingungkan, bagaimana aku membuat siklus kosmis dalam jagad raya yang sudah memiliki siklus kosmis yang mapan, siklus modal dan komoditas, siklus ekonomi, dan aku bagian dari siklus itu, berteriak aku kembali; “bagaimana aku membuat siklus kosmisku sendiri?” suara gaib, menjawab lewat suara genting yang jatuh, memasuki pikiran; “kau tak punya modal, walau begitu, kau punya teman-teman sejawat, buat mereka mengikutimu, berserikatlah! Lawan!”

Kata-kata sang gaib memancing saraf tawaku, aku tertawa terbahak-bahak, kemudian meneriakinya dengan nada mengejek; “kau itu bodoh, wahai sang gaib, setan dalam hatiku, ketahuilah; aku sudah berserikat dan meneriaki agar hidup kami lebih diberikan kesejahteraan yang layak, tapi apakah kau tahu? Bahwa, kami terlalu tergantung pada barang produksi yang kami sendiri sebagai bagian dari mesin pembuatannya, kami juga tergantung pada energi kosmis yang mereka kucurkan, kami tak berdaya, mereka bisa dengan mudah melemparku ke tong sampah, dan membunuhku perlahan, mereka menguasai para hakim, politisi hingga polisi, apakah kau tahu itu sang gaib? Kau terlalu naif?”

Seseorang terjatuh dijalan, seoarang anak yang hendak pergi kesekolah, tempat di ternaknya para budak, lalu lewat suara kejatuhannya sang gaib menjawab dengan nada mengejek pula; “modal-modal, modal kecil bersama akan menjadi modal besar, buatlah itu, kaulah yang tolol, kau tak melihat kesempatan, buatlah serikat yang membuatmu dapat menciptakan lingkaran kosmismu sendiri, namun ingatlah, keuntungan untuk bersama, buatlah lingkaran kosmis sendiri, tolak segala macam energi kosmis dari mereka yang pernah menguasaimu, sehingga dengan begitu kau dan teman sejawatmu tak akan dikuasai, tetapkanlah batas,  jika kau punya lahan, bertani, bercocok tanam sendiri, dimakan sendiri, ditukar-tukar agar merata, tukar sebagian dengan energi modal, bangunlah lumbung-lumbung bersama, kembalilah pada cangkul, kendalikan harga pertanian, boikot, carilah informasi, membacalah tentang ekonomi, membacalah tentang pertanian, minimal baca koran blok!”

Kemudian aku tertunduk dan dengan layu aku menjawab; “aku sudah tak lagi memiliki tanah, tanahku sudah aku jual untuk tuan-tuan dan para penguasa, aku tak berdaya melawan penguasa.”

Kucing berlarian masuk rumah, masuk ruang tamu dan memecahkan vas bunga, lewat suara pecahan, suara gaib mengejek seraya berkata; “maka nikmatilah ketololanmu, nikmati sesalmu atas kepengecutanmu, namun, setalah puas bangkitlah, rayulah teman sejawatmu untuk berdiri lagi bersama, berniagalah dengan modal-modal yang terkumpul, ajaklah yang mau saja, yang mau bersejah tera bersama, jangan lupa, membaca tentang ekonomi, baca juga lingkungan, cari kesempatan, kuasai medan niaga, sekali lagi aku ingatkan, modal-modal kecil bergabung menjadi modal besar, hentikan ketololanmu, segerakanlah! Bacalah! Bertindaklah!”

Aku mengada keatas seperti mendapat sebuah pencerahan, kutantang awan, kutantang dedaunan, aku berdiri dengan gagah simbol menantang jagad raya, kulepas sepatuku lambang perbudakan, kubuang id-carku, lambang perbudakan, kubuang seragamku, lambang perbudakan, ku berteriak memekik pada jagad raya.  Jagad raya ketakutan, jagad raya gemetar, awan merasa terancam, kemudian memutih dan menghilang, tak lagi berani menyembunyikan mentari, dedauan hanya gemetar ketakutan, tak lagi berani mengejek, langkahku kuambil dengan mantap, bergegas! “bergegas!” dalam hati aku berteriak, kemudian berlari menyongsong melawan jagad raya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun