Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Nuraeni antara Penjara Kebon Waru dan Jatuh Cintanya Hendra Gunawan

4 Juli 2023   20:13 Diperbarui: 5 Juli 2023   01:04 1705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Nuraeni yang berkisah tentang kehidupan nelayan dibuat tahun 2020 di studio seninya Bandung. Foto Dok. Penulis

***

Setelah pernikahan itu, kebersamaan Nuraeni dan Hendra Gunawan mulai menjelma menjadi mahligai kehidupan baru. Mereka tak mengenal istilah bulan madu, karena mereka menyadarai dengan sepenuhnya masih terikat dan menjalani sebagai tahanan politik di Penjara Kebon Waru.

Bagaimanapun sebagai istri ke dua Hendra Gunawan yang baru dinikahi, Nuraeni masih menempatkan dirinya sebagai murid yang terus belajar dari gurunya. Begitu pula perasaan Hendra Gunawan, bahwa ia sedang mengajari belahan hatinya untuk menjadi pelukis yang hebat. 

Nuraeni semakin menempa dirinya dalam ruang rasa dan perasaan, bahwa suaminya memang sedang memerlukan dirinya. Kalaupun ia dipuji atau sedang bersitegang itu adalah jalan seni. Nuraeni menyadari itulah nafas sepenuh jiwa Hendra Gunawan yang selalu membimbingnya melalui jalan seni. Pada diri Hendra Gunawan ia banyak melihat dan merasakan keunggulan pemikiran-pemikirannya. Suaminya bukan sekedar meletakkan keindahan dalam kanvas-kanvas kosong yang sering ia bantu, suaminya telah memadukan jiwa dari pengalaman batinnya yang melaju. "Sering sekali Pak Hendra Gunawan meminta saya untuk menjadi model figur yang memerankan suasana hatinya, dan saat itu pula Pak Hendra dengan mudah memindahkannya dalam bentuk sketch di atas kanvasnya", kata Nuraeni.

Kehidupan di Penjara Kebon Waru telah menjadikan Nuraeni sebagai sosok penting dalam pergulatan kesenimanan Hendra Gunawan. Sebagai istri ia telah pula menjadi subjek yang menepikan pengkelanaan batin-batin suaminya. Nuraeni merasakan dan menyadari bahwa Hendra Gunawan dengan kehadirannya memang membuat proses penciptaan karyannya jadi mudah mengalir. Hendra Gunawan memang mencintai subjek yang dilukisanya, sama mencintai Nuraeni sebagai istri yang sedang memerankannya.

Baik Nuraeni dan Hendra Gunawan adalah seorang seniman yang tidak suka tenggelam dalam kesendirian. Kenyataan ini sangat membekas di hati Nuraeni, manakala ia harus keluar dari Penjara Kebon Waru lebih duluan. Tahun 1972 menjadi kenyataan pilu antara bahagia dirinya babas dari penjara dan kecemasan meninggalkan suami yang dicintainya.

Nuraeni bersama putranya Dadang Hendra. Foto dok. Nuraeni HG
Nuraeni bersama putranya Dadang Hendra. Foto dok. Nuraeni HG
Nuraeni menjalani hidup sendiri di Bandung, dan setelah itu bayi laki-laki buah pernikahannya dengan Hendra Gunawan yang dikandungnya selama masih di Penjara Kebon Waru lahir, dan kelak bayi laki-laki itu bernama Dadang Hendra.

Nuraeni terus menyambung hidupnya sambil membesarkan dan mengasuh buah hatinya. Untuk menafkahi kebutuhan sehari-harinya ia masih mendapatkan kiriman karya-karya Hendra Gunawan yang dijualnya pada kolektor-kolektor yang menyenangi karya suaminya. Baginya yang terpenting saat itu adalah menunggu dan menunggu Hendra Gunawan dibebaskan.

Tahun 1978 menjadi momen haru bagi diri Nuraeni, karena saat itu pula Hendra Gunawan dibebaskan. Ia kini bisa menatap belahan jiwanya di setiap waktu, dan mengisi hari-harinya bersama putranya dengan penuh kasih sayang. Nuraeni tak ingin melewatkan kebahagian itu, kendati stigma sebagai mantan tahanan politik yang masih berat ia rasakan, baginya hidup harus terus berjalan.

Perjalanan hidup Nuraeni sepenuhnya diabdikan pada sang suami tercinta, ia pun harus membangun kehidupan baru di Pulau Bali pada awal tahun 1980. Selama lima tahun setelah Hendra Gunawan dibebaskan ia terus berkarya bersama. Nuraeni memang ditakdirkan untuk mengabdi dan menjaga suami tercintanya, dalam segala hal, baik duka dan suka cita sampai detik terakhir sang suami maestro seni lukis Indonesia itu dipanggil sang Pencipta. [Yudha Bantono, Bali. 04.07.2023]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun