Jeruji besi penjara yang halus karena sering dipegangi penghuninya, seperti ikut tersenyum mana kala menyaksikan dirinya berjalan menuju kamar tahanan tempat Hendra Gunawan melukis. Tangan-tangan para tahanan lainnya melambai-lambai sambil memanggil Nur-nur berulang-ulang, membuat dirinya tertunduk malu sambil menyimpan senyuman.Â
Di penjara Kebon Waru, Nuraeni memang bercahaya seperti lampu mercusuar yang memancarkan sinarnya di malam hari. Maka, tak heran bila perjalanan menuju ruangan melukis Hendra Gunawan banyak mengundang kekaguman penghuni lainnya. Seperti Dewi Ratih sosok Nuraeni dalam berjalan selalu penuh pesona dan membelalakkan mata para raksasa kurawa.
Nuraeni tidak sendiri, bersama lima orang tahanan lainnya ia mengikuti tahapan demi tahapan belajar dari Hendra Gunawan. Sang guru ternyata bukanlah pria yang penuh dengan kesabaran dalam membimbing muridnya. Ia adalah sosok yang disiplin, keras dan tidak mengenal maaf atas kesalahan muridnya.
Dari lima murid yang belajar, satu persatu mulai memutuskan berhenti tidak melanjutkan belajar. Hanya Nuraenilah yang bertahan, selanjutnya menjadi murid satu-satunya. Nuraeni cepat menyerap segala ilmu dan keahlian yang dimiliki Hendra Gunawan.
Selama menjadi murid, ternyata alam pikiran Nuraeni telah menemukan jiwa-jiwa merdeka. Ia terus melukis dan melukis seperti apa yang disuruh gurunya. Lukisan demi lukisan yang telah ia buat, ternyata telah mampu menghantarkan jiwanya keluar dari penjara. Ia seakan bisa berkelana menyusuri masa lalunya, dari desa kelahirannya sampai perjumpaan dengan orang-orang yang disayanginya.
Di ruang tahanan tempat melukisnya Hendra Gunawan, imajinasi Nuraeni semakin berkembang. Walau dalam penjara ia seolah bisa melihat dan menikmati hamparan sawah, kehidupan masyarakat di pasar, kecintaan orang tua pada anaknya, suasana pesta rakyat, dan beragam kegembiraan kehidupan lainnya. Nuraeni tak lagi meratapi tembok penjara sebagai kungkungan, hayalannya telah menjadi kekayaan yang menghiasi ruang-ruang kanvasnya. Bersama Hendra Gunawan ia mengenal kekuatan dan kelemahan perasaan, menyerapnya menjadi kisah-kisah yang siap diselesaikan demi pesanan, untuk Hendra Gunawan ataupun dirinya sendiri.
Hendra Gunawan yang sejak semula menaruh perhatian akan bakatnya, sangat yakin bahwa kelak Nuraeni akan menjadi pelukis yang bisa diandalkan. Nuraeni melukis memang tidak langsung menggunakan cat-cat minyak. Sama halnya seperti Hendra Gunawan, ia melukis dengan tahapan-demi tahapan, mulai membuat sketch, mewarnai, menumpuk warna, membuat tekstur serta meletakkan jiwa ke dalam kanvasnya.
Karena kemampuannya yang lebih itulah, Hendra Gunawan sering meminta Nuraeni untuk membantu mengisi warna lukisannya, membuat awan, mengisi warna-warna pada kulit, kuku, rambut, alis, mata, hidung, bibir serta busana dari instruksi yang disampaikan Hendra Gunawan. Dari pengalaman mendampingi membuat sketch sampai melukis bersama, Nuraeni secara tak sadar telah banyak terpengaruh oleh corak atau style Hendra Gunawan.
Secara teknik, dan warna kadang kala Nuraeni memiliki keinginan untuk mencoba lari dari style yang diajarkan Hendra Gunawan. Namun tanpa sadar ternyata ia tidak mampu menghindar. Kembali dan kembali lagi pada gaya lamanya. Hendra Gunawan yang memahami cara dan maksud pelarian Nuraeni yang melanggar logika perspektif melukis, hanya bisa tersenyum dan tidak jarang meledeknya.
***