Ramayana telah menjadi bagian inspirasi dari awal ia melukis di atas lontar, suatu proses yang cukup panjang telah membentuk kekuatan artistik dirinya, terlihat indah disetiap bagian kisah-kisah  Ramayana Dari tangan Ida Bagus Oka saya melihat energy kreatif tiada habisnya. Sorot matanya yang sangat awas ketika menorehkan pangrupak (pisau untuk melukis) di atas lontar, menunjukkan bagaimana kemampuannya mengelola garis-garis kecil dan halus dengan ukuran seperempat rambut, hadir menghiasi lembaran lontar-lontar karyanya. Ida Bagus Oka seakan menjadi cerminan dari sebuah perjalanan waktu dan pengalaman, bahwa jam terbang patut menjadi penghormatan melihat karyanya.
****
Sejak berumur Sembilan belas tahun sampai usianya yang kini enam puluh empat delapan tahun, ia tiada pernah mengeluh tentang pasar dari karyanya. Ia mengatakan bahwa di usia muda yang sangat produktif sempat pernah kewalahan menerima pesanan dari tamu-tamu asing dari belahan dunia. Mereka datang ke studionya untuk membeli semua karya-karya yang masih ia miliki.
Kini Ida Bagus Oka dalam usianya yang terus bertambah, ia menentukan sikap untuk tetap menjaga kualitas karya. Dalam sebulan ia hanya menghasilkan satu karya yang berisi sepuluh lembar lontar dengan ukuran 5 x 40 cm, artinya setiap lembar lontar ia harus kerjakan selama tiga hari. Ia tetap mengangkat cerita Ramayana, dengan visualisasi yang berubah setiap saat tergantung inspirasi yang muncul.
Apa yang bisa dibanggakan di hari tua dengan karyanya ?, Ida Bagus Oka hanya ingin memamerkan karyanya dalam sebuah kesempatan agar bisa diapresiasi publik luas. Ia sadar karya-karyanya telah menyebar ke berbagai negara yang artinya tidak banyak ditunjukkan atau dikoleksi publik seni rupa bangsanya sendiri. Ketika saya tanya apakah banyak penerus di desanya yang mau belajar seni lukis daun lontar ?, Ida Bagus Oka mengatakan sampai hari ini baru empat anak muda yang datang dan menimba ilmu padanya. Ia sangat prihatin bahwa banyak kalangan anak muda di desanya yang tidak tertarik belajar seni lukis prasi, padahal ini potensi besar baik dalam segi ekonomi maupun mempertahankan seni lukis tradisi yang menjadi warisan budaya luhur Bali. Ia selalu mengingatkan kepada murid-muridnya tidak ada yang perlu ditakuti untuk menekenuni seni lukis prasi. Ia kini terus mendidik muridnya agar kelak ada regenerasi di kemudian hari.
****
Saya mulai membaca kembali narasi dalam satu rangkaian lontar yang telah selesai menjadi karya. Detil garis-garis yang dihasilkan dari torehan tajamnya mata pisau yang diwarnai oleh hitamnya sangrai kemiri, menunjukkan adanya kedalaman maupun kekuatan dari sebuah karya. Garis-garis kuat membentuk figur wayang-wayang dan pemandangan alam dengan seisinya. Menikmati karyanya seolah mata saya turut meraba halusnya pori-pori daun lontar yang banyak memberikan mutiara pelajaran tentang arti sebuah kehidupan.
Andai Rama tidak klewat cemburu dan mau menaruh perasaan menerima semua kejadian yang dialami Sinta dengan apa adanya, maka kesucian cinta Sinta tidak lagi dipertanyakan. Â Saya benar-benar tertegun meratapi kisah lukisan Ramayana karya Ida Bagus Oka, sebuah amarah yang dibenarkan atas nama kesucian cinta. Dari kisah sastra jendra, cupu manik astagina merangkai kehidupan perjalanan duka dunia.
******
Sore  telah meredupkan  matahari dari bukit-bukit hijau sebelah barat Sidemen. Dari kejauhan pepohonan rindang yang masih lebat mengingatkan kisah perjalanan Anoman yang hendak menyelamatkan Sinta. Anoman masih memiliki waktu separo petang menuju Alengka. Angin telah menerbangkan bau busuk nafsu Rahwana,  Anoman mulai menciumnya dan sangat yakin, bahwa saat malam  ia sudah bisa tiba di pintu gerbang Alengka.
Dari Griya Carik Sidemen, Â sepenggal cerita Kijang Kencana telah bercerita, dalam pementasan sendra tari Ramayana di pelataran daun lontar Ida Bagus Oka. (Yudha Bantono, Sidemen, Karangasem Bali,1.06.2014)