Ketika Bima disuruh gurunya Pendeta Dorna untuk mencari air kehidupan, ia sangat patuh untuk menjalaninya. Bima tidak mengerti maksud Dorna yang justru hendak menjebak sekaligus membinasakannya. Pendeta Dorna memilih cara dengan teknik jebakan tipu muslihat yang halus, bahwasanya air penghidupan itu sebenarnya memang tidak akan pernah diketemukan.
Kenapa saya membuka pembicaraan membahas karya potret diri Gus Toke dengan kisah Bima mencari banyu bening pawitra sari? Ini tidak lain adalah upaya saya membaca karyanya, menghubung-hubungkan pengalaman hidup dan sikap pemikirannya.
Akhir musim panas tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi studio seninya di Zürich Swiss. Sama seperti layaknya berkunjung ke studio seni teman-teman perupa di Eropa, saya selalu menaruh perhatian pada hal-hal yang memiliki nilai kejut di sekitar ruangan di mana Gus Toke bekerja. Drawing di berbagai media, pada kertas gambar, kertas pembungkus makanan, dan papan kayu. Deretan karya yang terjajar rapi di dinding, maupun yang belum rampung, kesemuanya memperlihatkan bahwa sang perupa memang sangat produktif.
Setelah melihat dan berbincang mengenai karya-karyanya, Gus Toke menunjukkan puluhan print lembar foto di atas kertas foto ukuran separo A4. Awalnya saya pikir adalah potret diri untuk rencana lukisnya, atau ingin mengolase menjadi karya barunya. Seketika saya langsung tertegun dan tidak dapat menutupi keheranan, pada suatu pembicaraan tiba-tiba Toke bilang, “Ini karya saya, sebuah renungan, pengendapan, proses, penciptaan, dan pembicaraan.”
Sedari mula saya memang rajin mengikuti beberapa foto potret diri Gus Toke yang ia unggah beberapa di media sosial Facebook. Dari beberapa karya itu saya sudah menaruh curiga, dan telah pula saya ulas sebagian sebagai pembacaan bebas. Namun, begitu tumpukan foto yang menyeret pembacaan lebih jauh, seolah ia sengaja menjatuhkan kitab Bhagawat Gita yang tebal dari rak bukunya tepat di atas kepala saya.
Kemiripan cara mengkritisi keadaan di luar dirinya menjadi cara baca karyanya yang kini ia simpan dalam bundel file yang rapi. Karya Gus Toke saya perhatikan tidak sekadar jenaka atau menghibur, ada matematika rasa yang bisa mengalkulasi ke mana sebenarnya arah ia berbicara. Beberapa karya memang sangat sensitif, bahkan provokatif. Gus Toke meletakkan secara penuh bahwa dirinya adalah obyek, tidak ada sebuah beban yang melatarbelakanginya. Ketika saya harus melihat posisi dia sebagai orang yang memiliki posisi penghormatan, justru ia jungkirkan. Artinya, Toke bisa memilah antara spirit jiwanya dan tubuhnya.
****
Proses kreatif Gus Toke sangat sederhana, ia kebanyakan menghadirkan T-Shirt kenangan masa lalunya yang ia bawa dari Bali. T-Shirt itu seolah jimat saktinya ke mana ia akan berbicara. Dari T-Shirt ini ia sendiri ingin menunjukkan bahwa sebagai manusia ia adalah nothing atau tidak ada apa-apanya. Ia seakan meletakkan “tidak ada apa-apanya” itu sebagai penanda awal, dari penanda itulah selanjutnya ia ingin menggugah kesadaran siapa pun. Jelaslah kiranya bahwa ini tidak ada konteks pada dirinya pribadi. Toke mengatakan dirinya adalah bagian yang ia pinjam untuk mempermudah keleluasaannya berekspresi.
Pelan-pelan saya kembali mengingat perupa Cina Yue Minjun yang juga meletakkan keberadaan dirinya dalam mempertanyakan sebuah realitas kehidupan melalui karya-karyanya yang berpose tertawa. Dibanding dengan Yue Minjun, bahkan dengan perupa lainnya yang menggunakan obyek dirinya untuk berbicara, Gus Toke seperti ingin lebih memperjelas atau menggarisbawahi bahwa foto dirinya adalah percepatan dari loncatan karya lukisan-lukisannya.