Buat seorang Made Wianta suasana malam dan riuh orang bisa menjadi gagasan menarik untuk diolah menjadi karya. Seperti tak penting apakah dikonsepkan dulu atau langsung dieksekusi, semua bisa mengalir seketika.
Tapi tiba-tiba, begitu saatnya akan dimulai “ambil kamera videomu, ambil segera”, demikian kata Wianta sambil menepuk-nepuk wajahnya dengan mulut yang dimoncongkan ke depan, plok-plok-plak-plok. Saya paham benar maksudnya, sambil membalikkan badan, kemudian saya lari menuju kamar Hotel di lantai empat di kawasan KLCC Kuala Lumpur untuk mengambil kamera video dan kembali turun menemuinya.
Angin malam memberi sapuan dingin pada jalanan tengah kota Kuala Lumpur di Bulan Agustus 2004. Dan karena angin malam itulah semakin mendorong Wianta untuk bergerak memukuli apa saja yang ia temui dan menarik untuk dipukuli. Alunan pukulan yang penuh ritmik, seolah-olah ia menemukan alat perkusi yang tepat untuk dimainkan. Meja-meja di depan toko yang sudah tutup, tiang-tiang di jalan, pipa kran air pemadam kebakaran, tiang lampu lalu lintas, poster, tembok, kaca serta lainnya.
Suara pukulan Wianta yang liar tapi beraturan mulai memecah keheningan malam. Tak ayal beberapa orang penasaran mulai melihat apa yang ia lakukan termasuk mengikutinya. “Ah ini orang gila”, kata sebagaian dari mereka berkomentar, karena Wianta tak henti-hentinya terus berjalan memukuli benda-benda yang ia temui. Ia tidak memperdulikan orang-orang yang menontonnya, termasuk tepuk tangan spontan dari kerumunan orang.
Malam itu, Wianta memang berkehendak untuk berjalan-jalan mengelilingi kota sambil menghilangkan kepenatan setelah seharian bertemu sahabat-sahabatnya seniman dan budayawan Malaysia pada pembukaan pemerannya. Saya mulai berfikir apakah kejadian ini memiliki hubungan dengan pemeran tunggalnya, bahwa ia sebetulnya sedang melakukan happening art, di luar rencana agenda pameran.
Waktu itu saya tidak menganalisa sama sekali, hanya ketika selesai melihat hasil dari dua kaset video yang saya habiskan dalam merekamnya, mulai saya paham ternyata ini bukan sebuah spontanitas, tapi benar-benar dilakukan penuh perencanaan. Hanya, ketika ia mulai mengalirkan pukulan-pukulan telapak tangan dan jemarinya serta memilih objek-objek yang menarik, distulah dialog penting dari caranya mengolah ruang dalam rupa gerak dan rupa bunyi.
Wianta tidak mempersoalkan hasil dari bunyi, kadang bunyi itu bagus resonansinya kadang juga tidak bagus. Objek-objek yang ia pilih kesemuanya menggambarkan sebuah adegan dari kehidupan urban Kota Kuala Lumpur. “Inilah salah satu peradaban kota besar Asia yang dibangun oleh banyak para Tenaga Kerja Indonesia, baik yang legal maupun illegal”, katanya. Dan Wianta seolah penuh konflik menemukan persoalan dan mempertanyakannya, waktu itu.
Menempatkan pemikiran dari apa yang telah dilakukan Wianta, seperti menempatkan sekontainer perbedaan pola pikir, yang tentu saja ini pernah saya tanyakan padanya.
Saya mulai menyadari sebagai hasil konstruksi dari cara berkeseniannya banyak hal yang saya dapatkan. Salah satunya tentang kapitalisme global yang membawa manusia pada pola konsumtif, atau sebaliknya pola konsumtif yang menggemukkan kapitalisme global. Tarik ulur ini mulai saya baca ketika ia memukuli poster-poster dari iklan international brand sampai gedung-gedung yang dikerumuni orang.
Ketika pertumbuhan kota tidak terkendali, maka kota ini akan mengalamai kompleksitas permasalahan seperti kemacetan, polusi udara, limbah, sampah, kelangkaan air bersih dan kriminalitas. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali bila melampaui batas-batasnya juga akan mengalami kelebihan penduduk, kelebihan produksi, kelebihan konsumsi, polusi yang tinggi, jumlah mobil yang melampaui batas, jumlah mall dan pusat perbelanjaan yang melampaui daya beli. Dalam kondisi kota yang melampaui inilah, maka dipastikan sebuah kota tidak lagi mampu menyangga kehidupan manusia dan mahluk hidup di dalamnya.
Menakar kembali graffiti bunyi yang pernah Wianta lakukan di Kuala Lumpur, sebenarnya ini adalah cara Wianta untuk menganalisa sebuah kota besar dari negara yang sedang berkembang. Perbedaan perspektif dengan apa yang ia lakukan di Kuala Lumpur saya kira semakin memperkaya pandangan untuk melihat perkembangan kota di Indonesia. Wianta yang sering bepergian dan berpindah-pindah untuk tinggal dari berbagai kota di belahan Asia, Eropa dan Amerika, tentu memiliki relevansi cara pandang dari dirinya sebagai seniman.
****
Kala itu, saya mulai kelelahan mengikuti Wianta untuk merekam dari satu adegan ke adegan lain yang akhirnya kami berdua harus sampai di gedung kembar Petronas. Ketika tepat selesai memukul-mukul gedung petronas tengah malam, kaset video saya habis dan kami berdua juga harus berurusan dengan pihak keamanan Petronas. Waktu itu saya mulai gemetar, dan pastinya kami akan mendapat masalah dan berurusan dengan Polisi Diraja Malaysia, dan tentu akan panjang ceritanya. Untung pihak keamanan Petronas melepaskan kami setelah serangkain penjelasan saya utarakan. Di kendaraan taxi yang mengantarkan kami kembali ke hotel, saya mendengarkan tutur bijak Wianta yang sangat menghibur. “Inilah berkesenian, kamu harus siap dengan resiko”, kata Wianta. Dan saya masih belum siap tersenyum dengan cara Wianta mendinginkan suasana.
Barangkali, inilah cara berkesenian Wianta, selalu ingin menguji batas-batas kemampuannya dalam menempuh semua resiko untuk menerjemahkan gagasannya, menjadikan seni rupa yang berkonsep dan berestetika. Saya sangat percaya, setiap pengalaman dengannya sebetulnya adalah mengikuti sebuah laku seni rupa. (Yudha Bantono, pembacaan karya Sound of Graffiti Kuala Lumpur, Malaysia, 2004).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H