Ketika pertumbuhan kota tidak terkendali, maka kota ini akan mengalamai kompleksitas permasalahan seperti kemacetan, polusi udara, limbah, sampah, kelangkaan air bersih dan kriminalitas. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali bila melampaui batas-batasnya juga akan mengalami kelebihan penduduk, kelebihan produksi, kelebihan konsumsi, polusi yang tinggi, jumlah mobil yang melampaui batas, jumlah mall dan pusat perbelanjaan yang melampaui daya beli. Dalam kondisi kota yang melampaui inilah, maka dipastikan sebuah kota tidak lagi mampu menyangga kehidupan manusia dan mahluk hidup di dalamnya.
Menakar kembali graffiti bunyi yang pernah Wianta lakukan di Kuala Lumpur, sebenarnya ini adalah cara Wianta untuk menganalisa sebuah kota besar dari negara yang sedang berkembang. Perbedaan perspektif dengan apa yang ia lakukan di Kuala Lumpur saya kira semakin memperkaya pandangan untuk melihat perkembangan kota di Indonesia. Wianta yang sering bepergian dan berpindah-pindah untuk tinggal dari berbagai kota di belahan Asia, Eropa dan Amerika, tentu memiliki relevansi cara pandang dari dirinya sebagai seniman.
****
Kala itu, saya mulai kelelahan mengikuti Wianta untuk merekam dari satu adegan ke adegan lain yang akhirnya kami berdua harus sampai di gedung kembar Petronas. Ketika tepat selesai memukul-mukul gedung petronas tengah malam, kaset video saya habis dan kami berdua juga harus berurusan dengan pihak keamanan Petronas. Waktu itu saya mulai gemetar, dan pastinya kami akan mendapat masalah dan berurusan dengan Polisi Diraja Malaysia, dan tentu akan panjang ceritanya. Untung pihak keamanan Petronas melepaskan kami setelah serangkain penjelasan saya utarakan. Di kendaraan taxi yang mengantarkan kami kembali ke hotel, saya mendengarkan tutur bijak Wianta yang sangat menghibur. “Inilah berkesenian, kamu harus siap dengan resiko”, kata Wianta. Dan saya masih belum siap tersenyum dengan cara Wianta mendinginkan suasana.
Barangkali, inilah cara berkesenian Wianta, selalu ingin menguji batas-batas kemampuannya dalam menempuh semua resiko untuk menerjemahkan gagasannya, menjadikan seni rupa yang berkonsep dan berestetika. Saya sangat percaya, setiap pengalaman dengannya sebetulnya adalah mengikuti sebuah laku seni rupa. (Yudha Bantono, pembacaan karya Sound of Graffiti Kuala Lumpur, Malaysia, 2004).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H