Dari balik tirai kain putih, petang itu grand piano seperti penari yang sedang menunggu manggung; sumringah, penuh gairah dan memukau. Kakinya yang ramping disilangkan di atas lantai, tenang penuh pesona. Ketika suara microphone dari MC mulai berkumandang, serempak dalam gerak ia berdiri, lalu kaki penari itu berjalan menyiapkan diri, dengan sesekali menjulurkan tangan sejajar di depan pinggang.
Grand Piano itu adalah penanda, sekaligus pemberi makna warna-warna cat air di atas kertas yang sedang turut merayakan kebersamaan sebuah festival desa, terbuka lintas kultur-bangsa dan mendunia. Galeri Grya Santrian memang sedang memberikan ruang bagi sejumlah pelukis cat air yang hadir merespon tema utama Sanur Village Festival XI, 2016. Tat Twam Asi – aku dan engkau adalah kita, dan di mata pelukis cat air berarti pula sebuah bentuk ekspresi seni rupa, dibaca bersama diolah secara personal menjadi karya.
Ini sebuah pameran lukisan cat air yang mewakili pandangan dari setiap perupa dalam menerjemahkan Tat Twam Asi, perupa Kolcai menyadari sedari mula sejak disodorkan tema pameran dapat diterjemahkan secara bebas, artinya Tat Twam Asi bisa diekspresikan dalam berbagai makna, lambang maupun simbol dari kehidupan, termasuk posisi manusia sebagai pangkal atau pusat pada “aku”.
Untuk itu, sesungguhnya karya-karya perupa Kolcai mencerminkan sebentuk penafsiran sebagai seorang perupa sekaligus “aku” yang mewakili dirinya dalam menempatkan pandangannya secara visual artistik.
Melalui tema Tat Twam Asi, konsep karya dari masing-masing perupa Kolcai memperlihatkan capaian tanpa batas. Hakekat aku dan engkau yang selama ini menimbulkan persoalan serius tentang penempatan batas, bahkan menimbulkan disharmoni dikaji dan dibangun ulang melalui pencarian keseimbangan yang universal.
Beragam gagasan dari kehidupan tradisi budaya nusantara, kemanusiaan, alam, penyelamatan bumi, satwa, tumbuhan, tubuh dan bagiannya, modernitas, serta gaya hidup, hadir bukan semata menyuguhkan capaian estetis, namun juga sebuah pernyataan maupun pertanyaan yang dapat menjadi perenungan atas esensi Tat Twam Asiitu sendiri.
76 perupa cat air ambil bagian dalam pameran Tat Twam Asi, dimana 38 perupa memarkan karya asli yaitu AA Ngurah Darma, Abdul Rachman, Achmad Pandi, Agus Budiyanto, Agus Tomin, Angga Yuniar Santosa, Candra Martoyo, Damaring Febryasmoro, Deskamtoro Dwi Utomo, Doni Libra, Edy Agus Kurniawan, Eddy Dewa, Erlin Subekti, Dodoth F. Widodo Putra, Febri Indra Laksmana, Guruh Ramdani, Hani Handayani, Haris Sudarsono (Risman Keceng), Harry Suryo, Henny Herawati, Irwan Widjayanto, Irwan Trianto (Iru Triart), Joko Supratikno, Kris Yoewono, Kris Wardhana, Mochtar Niti, Moelyoto, Netty Basian Kodar, Luqman Reza Mulyono, Sarjiyanto, Sari Atika Sundari, Surya Adi Rahman, Wahyu Sigit Priyo Utomo (Sigit Crueng), Sugeng Cahyo Wening, Te Kamajaya, Untoro, Yahya Pudji Kustiawan, Yoes Wibowo, dan Yuventus Windar S.
Dan 38 perupa lainnya memerkan karya berupa art print yaitu Agus Junawan, Agung Dwie, Alfi Ardyanto, Artyan Trihandono, Aryo Sunaryo, Aziz Tirta Atmadja, A. Wahyu Handayani, Bowo Aiwi, Budi Sudarwanto, Daniel Nugraha, Deissy Kussoy, Eleonora Anggraheny, Embong Salampessy, Enis Fakhrunisya, Eunike Nugroho, Galih Sekar Winilih, Galuh Tajimalela, Hendro Purwoko, Imam Mukhlis, Ireng Fiorentina, Ikhman Mudzakir, Iqbal Amirdha, Jae Fahru, Jevi Alba, Keningar Rindang Arum, Kinkin, Lega Rubi, M.Ichsan Harja Nugraha, M. Ade Iskandar, Nashir Setiawan, Nahyu Rahma Fathriani, Ni Wayan Supadmi (Yanami), Putra, Putut Ristianto, Ratna Sawitri, Sigit Santosa, Seto Parama Artho, Tiar Kosonk, hadir sebagai pendukung pameran melalui karya-karya artprint.
Personalitas Visual
Karya-karya lukis cat air perupa Kolcai yang berasal dari seluruh chapter se-Indonesia bisa dibaca juga sebagai personalitas karya lukis cat air yang mewakili daerahnya. Setiap perupa yang berpameran ingin menunjukkan persoalan atas dirinya dan sesuatu yang ada disekitarnya baik realita maupun ruang imaji dalam membaca Tat Twam Asi.
Terlihat beberapa perupa yang menjatuhkan pilihannya terhadap identitas visual dengan latar belakang objek yang identik dengan budaya dimana ia berada. Sedangkan tampilan yang lain menggarap persoalan kehidupan dan alam. Dikerjakan seperti memindahkan obyek dalam photo, ruang imaji maupun simbolisme dan abstraksi.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Perupa cat air Kolcai ingin menunjukkan bahwa pencarian estetis melalui Tat Twam Asi dapat dihadirkan sebagai identitas personal dan dirayakan secara bersama. Tentu ini patut menjadi pertimbangan kembali bahwa antara visualisasi dan kedalaman menangkap Tat Twam Asi akan masuk pada ruang apresiasi kritis yang pada akhirnya menjadi pertaruhan setiap seniman ke hadapan publik.
Intensitas perupa Kolcai memahami persoalan Tat Twam Asi dapat dilihat dari statetment berupa gagasan-gagasan yang melebur dalam karya-karya lukisan cat air. Pengalaman yang menggiring pada personalitas visual itu didahului dengan pengalaman projek-projek seni dari setiap seniman dalam menggarap karyanya. Kecenderungan menggunakan komunikasi personal sangat nampak dalam penyajian karya, sehingga dalam konteks pameran seni rupa, apa yang kemudian akan disampaikan kepada audiens adalah bagian yang menunjukkan personalitas perupa Kolcai.
Identitas Kolektif
Para perupa cat air dalam pameran Tat Twam Asi tak lepas dari peran lembaganya yakni Komunitas Lukis Cat Air Indonesia. Sejak empat tahun belakangan, perupa cat air Kolcai semakin aktif terlibat dalam berbagai pameran nasional dan internasional serta mengikuti kegiatan plen air (melukis bersama) yang diselenggarakan berbagai chapter di Indonesia.
Di antara mereka bahkan telah diundang mempresentasikan karyanya dalam berbagai event cat air dunia dan telah pula menempatkan predikat sebagai pelukis cat air dunia. Pergerakan pameran tetap dalam praksis apresiasiai seni lukis cat air mampu mewadahi seluruh chapter se-Indonesia, semakin intens dan telah melahirkan event dua tahunan berupa pameran nasional.
Terlepas dari pameran bersama Tat Twam Asi yang bersinergis dengan Sanur Village Festival 2016, pameran ini adalah spirit yang masih mengacu pada persoalan identitas bersama terhadap ideologi estetik perupa cat air Kolcai.
Pameran ini sejatinya juga bisa dibaca ulang dari pameran bersama yang pernah mereka lakukan, meskipun mereka sedang saling berlomba menunjukkan identitas, namun akur dalam basis kesadaran berkarya bagi agenda berkelanjutan dalam sekala nasional.
Karya-karya yang diusung dalam pameran Kolcai kali ini sangat beragam, permainan makna melalui capaian visual terlihat jelas ada yang mengarah pada perenungan pribadi perupa, maupun hanya capaian estetis yang ditonjolkan. Kiranya perupa Kolcai memang masih memegang kuat memasukkan pesan moral sebagai pertaruhan apresiasi yang kritis.
Melanjutkan Catatan Perjalanan
Merangkai catatan di atas, keberadaan pameran nasional Kolcai III sesungguhnya merupakan kelanjutan penggarapan tema yang sinergis. Pada pameran nasional II tema Indonesian Spirit Watercolor seolah tidak menjadi jeda dalam merangkai peristiwa catatan perjalanannya. Efix Mulyadi dalam catatan kuratorial pameran nasional II mengatakan pameran lukisan cat air “Indonesian Spirit in Watercolor” sedikit banyak merupakan representasi dari kenyataan seni rupa kita hari ini. Karya-karya yang indah, menarik, romantik, tampak dikerjakan dengan baik.
Bila merujuk catatan Efix, dapat disimak ulang secara mendalam masih memiliki tautan terhadap hal yang sedang dilakukan perupa cat air Kolcai pada pameran kali ini. Penafsiran Tat Twam Asi memberikan ekspresi yang kuat pada sebagian karya yang masih mengusung keindahan warisan budaya Indonesia.
Begitu pula dunia keseharian adalah ruang yang menyediakan banyak peristiwa, dikaji dan ditimbang menjadi gagasan. Alam beserta isinya baik tumbuhan dan binatang yang memiliki kedekatan dengan manusia dapat dirasakan hadir sebagai bentuk kedekatan perupa dengan lingkungannya. Kapasitas perupa cat air Kolcai sebagai bagian pengembangan gagasan bersama kali ini tidak serta merta menjadi sebuah restatetment dari spirit Indonesia. Meskipun demikian kita bisa merasakan karya-karya mereka masih membawa persoalan budaya Indonesia secara kuat.
Kesadaran untuk menyampaikan corak seni lukis cat air yang “Indonesia” melalui pameran Tat Twam Asi jadi tampak penuh warna dalam mengemukakan identitas Kolcai. Perhelatan Sanur Village Festival di Sanur Bali yang merupakan salah satu magnet kuat bagi tempat dan sejarah seni rupa Indonesia setidaknya telah berhasil mereka maknai. Sehingga peristiwa budaya ini bisa menjadi angin segar yang tidak sia-sia dalam memperjuangkan nilai baca dari sebuah selebrasi menjadi nilai pandang berlebih melalui karya lukis cat air.
Ketika seorang musisi jazz merasa perlu membawa bagian komposisi garapannya dalam konteks seni rupa, apa yang kemudian ingin disampaikan pada publik penikmat seni rupa maupun jazz ? Itulah yang terjadi ketika musisi Indra Lesmana turut mewarnai pameran Tat Twam Asi dalam pembukaan pameran.
Alunan grand piano Indra Lesmana hadir sebagai elemen penanda mengalirnya jazz ke dalam karya lukis cat air. Pemandangan pembukaan pameran menjadi puitis bahkan romantis. Leburan warna-warna cat air yang merespon komposisi Indra nampak beragam, membentuk imaji bebas, diterjemahkan secara luas.
Memang, kolaborasi antara musik jazz dan seni rupa bukanlah hal yang baru, Paul Klee telah merespond Bauhaus Jazz Band dalam karya-karyanya yang telah diwartakan dalam all tomorrow bauhause parties. Begitu pula Keith Hearing yang telah membuat poster festival jazz dunia ternama Motreux Jazz Festival pada tahun 1983.
Deretan nama-nama lain tentu telah menjadi bagian penting bagi menyatunya jazz dan seni rupa, termasuk Romero Britto perupa autodidak Brasil yang karyanya telah menyebar ke berbagai piranti benda-benda kecil seperti flash disk, juga menghiasi poster Motreux Jazz Festival.
Lantas, bagaimana kehadiran Indra Lesmana dalam jazz in watercolor di Grya Santrian Gallery yang berkolaborasi dengan perupa cat air dari Komunitas Lukis Cat Air Indonesia ?. Saya kira ini adalah sebuah moment pencerahan baru tentang hadirnya jazz di Bali sebagai bagian arus seni rupa, sekaligus spirit baru bagi Indra maupun perupa untuk mau keluar dari sangkar panggung jazz maupun studio perupa.
Ketika perkembangan seni rupa maupun jazz adalah satu pemikiran yang mencoba memahami seni dalam beragam dinamika, maka sangatlah wajar ia berkembang pararel dengan sejumlah pemikiran maupun gagasan yang multi lintas bidang. Sebuah tanda-tanda bagi perkembangan jazz di Bali yang diawali oleh Indra Lesmana, sangat mungkin istilah “jazz in watercolor” menjadi ikon bagi perkembangan seni rupa di Bali. Serta sangat memungkinkan pula baginya untuk mengembangkan ke “jazz in find art” pada perkembangannya.
(Yudha Bantono, Catatan Pameran Komunitas Lukis Cat Air Indonesia “Tat Twam Asi” Grya Santrian Gallery, Sanur, Bali)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H