DUNIA Fotografi kontemporer Indonesia semakin hangat terus dibicarakan. Setidaknya dari catatan sekian banyak pameran bukan saja mencatatkan peristiwa, namun lebih dari itu, yakni meletakkan ideology yang melampaui label fotografi mainstream yang ada.
Ketika foto-foto yang dihadirkan penuh konseptual baik dalam pemikiran maupun perwujudan, maka tidak bisa diabaikan bahwa praktik fotografi kontemporer selalu meletakkan pertanyaan dibalik keindahannya. Deretan foto-foto yang sedang dipamerkan di Grya Santrian Gallery Sanur misalnya, bisa jadi sebagai presentasi karya yang konsisten memperjuangkan kehadiran fotografi kontemporer di tengah-tengah publik fotografi maupun seni rupa. Radwin, yang memiliki nama lengkap Radwin Nurlatif (41) adalah salah satu dari fotografer kontemporer Indonesia yang secara individu memberanikan diri berbicara dalam pameran tunggalnya yang pertama kali dengan judul “at the point of view”.
Foto-foto Radwin yang dibuat dengan mengandalkan teknologi dijital dan perangkat lunak seolah tidak tanggung-tanggung ingin menelanjangi pandangan audience sebelum melihat objek yang memang benar-benar telanjang. Perempuan-perempuan telanjang yang hadir dalam beragam pose, sedari mula memang menimbulkan pertanyaan yang memunculkan beragam persepsi. Radwin tidak menghadirkan imej erotis sebagai sodoran gagasan utama, sehingga fotonya akan berbicara bahwa perempuan bukan sebagai objek penggarapan utama. Untuk itu secara jelas ia telah menganulirnya terlebih dahulu, melalui peletakan asap-asap yang dapat menggiring kesepakatan persepsi yang berbeda.
Kemunculan pemandangan alam liar, persawahan, danau, laut, dan setingan bunga-bunga sampai warna-warna kuat, seakan ingin menyematkan batas bagi pembaca, sekali lagi tidak terkecoh oleh hadirnya persepsi imej perempuan erotis. Memang disadari atau tidak, pada karya yang berada pada warna-warna kuat seperti merah, kuning atau hitam justru akan memperkuat kesan emosi melihat perempuan telanjang yang nyaman pada posisinya. Apakah ini sebenarnya jebakan yang oleh Radwin dihadirkan untuk mengukur sekala persepsi terhadap kekuatan asap dalam menganulir kembali pada at the point of view ?.
Radwin, lagi-lagi hampir menggiring pembacaan karya pada setting susana eropa, pada salah satu karya yang coba saya perhatikan memang objeknya adalah perempuan barat, namun ketika saya tanya dimana lokasi pemotretannya ?, ia menjawabnya di Kintamani Bali. Dari persoalan tempat, maka jelaslah kiranya Radwin dalam karya fotografinya berhasil membangun sebuah kesan lain disamping kembali ke point perempuan dalam karyanya.
Secara teknik Radwin mengatakan ia memiliki koleksi foto-foto yang banyak, karena perkembangan zaman yang memaksa era digital bermain, maka ia mengolahnya kembali menjadi karya baru. Pengetahuan teknis mengolah foto di atas media menjadi kunci keberhasilan menerjemahkan gagasan sampai menghasilkan karya. Dari rangkaian imej-imej yang awalnya hadir dengan sendiri-sendiri kemudian merangkai menjadi pemaknaan yang lebih luas.
Rifki menggaris bawahi bahwa karya Radwin membawa kita kepada cara pandang yang mungkin mencerminkan gejala perkembangan dari evolusi cara melihat karya, baik secara artistik maupun kultural. Dengan menampilkan tubuh perempuan telanjang, dari berbagai macam latar, dan dengan berbagai sikap atau gestureyang erotis, kita dihadapkan kepada suatu kebimbangan dalam menentukan nilai tubuh-tubuh perempuan itu, antara penghakiman kepada suatu sisi moral dan kepada nilai-nilai yang muncul di dalam penggarapan artistiknya.
Rifki juga melihat dalam karya Radwin yang menghadirkan unsur kepulan asap yang kemudian mengganggu kehadiran tubuh-tubuh perempuan tersebut, kemudian menghasilkan imej yang cenderung mistis dan kadang nampak jenaka, seolah menyiratkan pesan tertentu. Yang menjadi pertanyaan setelah melihat peletakan maupun komposisi asap dalam foto-foto Radwin adalah “apakah asap berhasil menganulir derasnya pemaknaan terhadap tubuh, perempuan dan ketelanjangannya atau justru malah menambah unsur estetikanya ?”. Tentu, jawaban ini dikembalikan kepada audience yang membacanya.