Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Potret Republik Gagal Grace Tjondronimpuno

11 Juni 2016   16:19 Diperbarui: 12 Juni 2016   03:34 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GRACE TJONDRONIMPUNO, Antre Sejerigen Minyak Tanah, 2005, 30 x 30 x 150 cm, Mixed media on multiplex wood

PANAS matahari menyapu pangkalan minyak tanah Kelurahan Utan Kayu, Jakarta Timur. Jerigen minyak yang ditenteng pembeli terlihat mengular di sepanjang jalan menuju pangkalan, ratusan warga sudah mengantri sejak pagi, namun minyak tak kunjung mereka dapat. 

Sebuah reportase pagi dari salah satu stasiun televisi swasta telah mengganggu selera Grace yang pagi itu sedang menyuapi sarapan anaknya yang masih balita. Grace tidak habis pikir kenapa negara kaya dengan sumber daya alam dan tambang sampai didera derita semacam ini. 

Pertunjukan sedih tentang negeri pagi itu telah pergi, para penontonnyapun juga sudah pergi, tinggal Grace yang hanya memandangi kompor di dapurnya, ruang dapur yang awalnya menjadi pandangan bahagia ibu rumah tangga seolah menjadi tangisan. Dari sudut-sudutnya meneteskan air mata, air mata kesedihan. Grace memang tidak mengeluarkan air mata, namun ia merasa bersalah bila hanya larut sebagai perupa. Ini bukan sebuah kegalauan yang ia dambakan, ini sebuah kepedihan yang ia rasakan dan harus ia suarakan. 

***

Pagi kelabu itu terbenam dalam pikiran Grace dengan kekecewaan yang teramat sangat. Penindasan hak dasar rakyat yang terus berlanjut. Ketidakmampuan mengelola kekayaan bangsa justru menjadi pesta pora, korupsi dimana-mana, suara kebenaran telah dibungkam, menjadi permainan pencitraan. 

Peristiwa yang mengharukan itu ia curahkan secara naratif dalam karya “Antre Sejerigen Minyak Tanah”, 2005,  30 x 30 x 150 Cm, Mixed media on multiplex wood. Karya itu adalah rekaman keadaan yang menjadi ingatan, dinarasikan menjadi karya rupa, bicara mewakili zaman.

Grace Tjondronimpuno (45) perupa wanita Magelang, Jawa Tengah, karya-karyanya memang kebanyakan mengangkat persoalan yang sering terlihat di masyarakat. Persoalan ekonomi, sosial, budaya, politik tak segan-segan ia respon dalam bentuk sindiran kritis yang halus dan tajam. 

Grace melakukan filling karya-karyanya seperti jurnal sejarah, setiap peristiwa mewakili waktu,  diuntai seperti kaledoskop seni rupa sosial bangsa. Ditangan grace potret buram bangsa tidak bisa didustakan apalagi dihilangkan.

Dalam seni rupa sekarang ini kepekaan seniman akan realitas kehidupan menjadi tuntutan yang tidak bisa diabaikan. Di negeri yang banyak didera masalah predikat seniman kritis sosial tidak begitu banyak disandang perupa. 

Saya melihat Grace tidak terjebak dari gagasan yang mengungkung dirinya hanya pada tataran pengulangan karya yang mementingkan estetis, sehingga menjadi romantis dan kenes pada nilai seninya.

Grace mewakili kreativitas semangat zaman. Tahun 2005 adalah boom seni rupa dimana banyak seniman seketika itu mengkontemporerkan diri, mencari identitas memenuhi selera pasar. Ini tidak dipungkiri karena tuntutan infra struktur seni rupa Indonesia yang harus tunduk pada keinginan pasar, terjebak dalam kontrak ditentukan pada target kuantitas, dan akhirnya menyesakkan nafas. 

Membahas pasar seni kontemporer memang tidak ada habisnya, hengkangnya balai lelang dalam kegiatannya di negeri ini baik jumlah maupun pelaksanaanya membuktikan adanya krisis pasar seni rupa yang buruk, dan ini banyak dilatari berbagai permasalahan, lebih-lebih munculnya banyak karya-karya esoteric yang membingungkan publik. Tiba-tiba saya melantur kemana-mana sambil menunggu online chat dengan Grace yang sudah kujanjikan untuk mengulas karyanya.

***

Selasa, Pukul 10.00 WITA laptop yang sudah kubuka dengan page www.facebook.com/yudha.bantono sejam sebelumnya tiba-tiba berbunyi blum, sapaan masuk yang kutunggu-tunggu tiba. Grace menyapaku dalam inbox messenger  “Pagi Mas Yudha”. Kujawab sapaan Grace dan berlanjut menjadi wawancara jarak dekat di depan mata. 

Kotak pesan yang berukuran 7x6 cm dengan mudahnya menjadi media yang menjawab alasan keterbatasan jarak tempuh wawancara. Pembahasan karya “Antre Sejerigen Minyak Tanah” menjadi pilihan karya yang akan saya baca,  bersahaja stand by di depan monitor kaca.

Karya tiga dimensi yang dibuat Tahun 2005 ini sebetulnya telah dipamerkan di Bali Biennale yang pertama, sebuah event penting seni rupa Indonesia yang nasipnya tragis tidak berlanjut. 

Karya itu menyajikan suatu adegan yang menarik ingatan pada antre minyak tanah 11 tahun silam. Orang banyak mengantri minyak tanah dengan membawa aneka jerigen. 

Ratapan kejengkelan yang menjadi kepasrahan tergambarkan. Ada jerigen-jerigen, drum minyak, ada sekat yang menyembunyikan drum-drum minyak. 

Tengkulak yang membatasi pembagian penjualan dan cukong yang menghitung keuntungan. Orang-orang hadir dengan berbagai karakter. Balutan busana, sandal, kacamata, dan gaya rambut yang mewakili zaman menjadi rekam keadaan.

***

Tema sosial selalu menarik untuk dibahas dan dibicarakan, gumanku. Dan ini memerlukan strategi kompromi untuk menginvestigasi. Sejak dikirimnya karya ini sehari yang lalu, saya mulai memikirkan bagaimana melihat secara jeli dari beberapa hal seperti pembacaan awal narasi, kontekstual isi, aspek-aspek yang mempengaruhi, symbol yang diungkapkan, serta estetika pencapaian. 

Menurut Grace karya tiga dimensi itu adalah bagian dari protes pribadinya melihat kehidupan hak dasar rakyat yang diselewengkan untuk keperluan lain, subsidi pemerintah kepada kebutuhan rakyat kecil justru dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak, ada kong kalikong yang tidak sehat dan ini menjengkelkan, bagaimana ini bukan potret gagalnya pengelolan republik, katanya.

“Lihatlah sosok orang-orang mengentre, mereka pasrah akan keadaannya, dan ini bentuk pencideraan nurani rakyat yang bisa dilihat dengan kasat mata”, Grace dalam chatnya mulai tersulut mengingat kejadian yang dikaitkan dengan proses berkaryanya. Dominasi orang-orang memang sangat jelas terlihat, dan ini menurut saya adalah pembacaan narasi karya yang tidak disamarkan maupun disembunyikan. 

Aneka jerigen, drum minyak, dan sekat yang menyembunyikan minyak timbunan adalah simbol yang mendukung narasi karya, dan inipun juga secara jelas diungkapkan Grace. Secara kontekstual isi karya ini benar-benar mewakili keadaan sosial. Aspek-aspek yang mempengaruhi karyanya juga sangat jelas yaitu keadaan susah yang dialami semua daerah di negeri ini yaitu kelangkaan minyak tanah.

Rasanya kejelasan bahasa ungkap tidak perlu saya perdebatkan, saya telah melihat apa yang ingin disampaikan Grace melalui karyanya. Melalui iPad yang menyimpan karya Grace, otot mata saya secara reflek membelokkan pandangan ke sebelah kiri dimana iPad saya letakkan. Menelisik pada figur-figur yang terlihat indah dan rapi dalam penggarapannya. 

Sebuah keindahan tapi juga sebuah persoalan bagiku. Hal yang membuat saya benar-benar penasaran yaitu pencapaian estetika karya. Saya melihat figur-figur dalam karya ini tidak menunjukkan adanya raut kesedihan dan ini justru mengarah pada bentuk keindahan. Apa yang melatarbelakangi dan untuk apa Grace mencapai itu semua ?, apakah karena kesan ibu dan wanita yang disandangnya sehingga karya harus rapih dan indah ?. 

Saya mulai menunggu jawabannya, tak lama kemudian tulisan typing mulai terlihat artinya ia mulai menjawab pertanyaan saya. Grace mengatakan bahwa sebagai seniman tentu pencapaian estetika adalah bagian hal penting, tapi tidak semata-mata, karena ia memposisikan menyampaikan esensi bukan indah semata.

 Keindahan yang dibentuk sekali lagi adalah sebagai upaya merujuk mewakili zamannya. “Masak saya harus membuat baju kusam yang mengada-ada seperti era orde lama zaman pak Sukarno” yang diakhiri dengan tanda (:D) yang di monitor diterjemahkan dengan gambar wajah ketawa. 

Baginya realita kehidupan itu tidak dibuat-buat, ia tetap menggambarkan orang-orang yang antri sebagai masyarakat [perhatikan sandal, baju, rok, celana, sarung, topi, kopiah sampai kacamata, itu adalah kewajaran yang tidak berlebihan, saya tidak harus menggambarkan orang antre dengan memakai sepatu Nike atau Reebok, tas Loui Vuitton atau baju Piere Cardin, dan lihatlah juga bagaimana seorang nenek yang masih mengunyah sirih juga saya sertakan], berikut jawaban chat Grace yang juga diakhiri dengan tanda (:D).

Menarik menurutku, bahwa Grace benar-benar mengungkapkan keadaan sebenarnya, meski simbolisme menimbulkan pertanyaan, atau bahkan simbolisme itu tidak penting dibaca sehingga menjebak pada pemaknaan estetika belaka. Pelan-pelan akhirnya saya mulai membaca bahwa esensi dari karya ini menjadi tujuan utama.

Lantas mengapa Grace menunjukkan karya ini dalam tiga dimensi dengan figure-figur kecil yang memerankan narasi ?, ini juga menarik kutanyakan. Grace menjawab “ini adalah konsep dan juga analog, keduanya saya perankan sebagai bagian keluar dari karya dua dimensi seperti yang juga saya tekuni.” 

Pahamlah akhirnya bahwa Ia menentukan fokus esensi supaya tidak melebar dalam pembacaan, bidang sangat ia perhatikan, ia tidak ingin cerita kemana-mana dan pembacaan mudah ditangkap oleh penikmat seni rupa. 

Sedangkan figur-figur kecil ia analogkan juga sebagai potret rakyat kecil, seolah ia juga ingin mengecilkan permasalahan menjadi fokus. Dan ini menurut saya ia telah berhasil membuat strategi pencitraan esensi karya, kecil bukan mini, namun ditanggannya kecil adalah fokus dan bukan menyederhanakan masalah.

Lepas dari pembacaan karya, ada hal penting juga untuk saya tanyakan perihal proses penciptaan karya dari sisi bahan. Dalam karya “Antre Sejerigen Minyak Tanah” Grace menuturkan bahwa bahan-bahan yang ia gunakan adalah bahan daur ulang, ada kardus, kertas koran, stereo foam, plastik dan kaleng minuman yang ia temukan di sembarang tempat baik tong sampah jalanan maupun sampah rumah tangganya.

 Grace tidak segan memungut bahan-bahan sampah untuk dikantongi, diproses dan dibentuk di studionya dan menghasilkan elemen-elemen penting dari karyanya. Lagi-lagi Grace mengajakku terlena pada pemaknaan penciptaan karya seni yang tidak harus memerlukan biaya tinggi, semua yang ada disekitarnya adalah materi yang bisa mengkayakan nilai seninya. 

***

Karya “Antre Sejerigen Minyak Tanah”, adalah buah dari kerja keras yang melibatkan kecerdasan, ketekunan dan ketulusan, maka pada tahun 2006/2007 melaui karya ini dan karya tiga dimensi lainnya yang sama-sama menyuarakan tema-tema sosial ekonomi, politik, dan budaya dari kegagalan republik ini, menghantarkan dirinya mendapatkan Grandresidensi dari Freeman Foundation melalui program Asian Artist Fellowship di VSC (Vermont Studio Center) Amerika. 

Dalam program itu Grace bersama karyanya memerankan diri sebagai bagian program East and West Dialoque atas pandangan Asia dan Amerika, ia menyampaikan pandangan tentang potret Indonesia sebagai bagian representasi asia dalam bahasa rupa.

 Karya-karya Grace bukan sebuah kebetulan yang akhirnya menjadi bahasan penting yang berlanjut pada The World intercultural dialogue yang menyuarakan perdamaian dunia.

Sebagai pencapaian dari residensinya, Grace mendapat kesempatan emas berpameran tunggal di Red Mill Gallery Vermont, Amerika. Dalam pameran tunggalnya ia mengangkat keprihatinan atas situasi dunia yang kacau balau dengan perang dimana-mana, dan semua pihak merasa benar.

Dari program Vermont Center Studio berlanjut kembali dimana ia kemudian mendapat bonus mengunjungi New York. Mumpung di di kota besar negeri paman sam ini kesempatan tidak ia sia-siakan.

 Grace bersyukur memiliki sahabat di New York sehingga dalam waktu sebulan tinggal di apartemennya ia berkersempatan mengunjungi museum-museum terkenal termasuk MoMA. 

Sebagai penikmat seni rupa yang senang menikmati karya-karya yang menyuarakan tema-tema sosial, bagi saya karya-karya Grace adalah ruang untuk merasakan kepekaan rasa atas problematika sekitar kita. 

Ini adalah sebuah berita bahagia ketika mendengar seniman muda Indonesia menjadi bagian pembicaraan seni rupa dunia, memiliki keberpihakan pada nasib rakyat yang tertindas daripada berburu identitas pada karya-karya yang tidak jelas.

 

 (Tour de Seni Rupa #14 - Facebook Chatting from Art Studio Grace Tjondronimpuno Magelang, Central Java. 11.03.2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun