Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Potret Republik Gagal Grace Tjondronimpuno

11 Juni 2016   16:19 Diperbarui: 12 Juni 2016   03:34 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lihatlah sosok orang-orang mengentre, mereka pasrah akan keadaannya, dan ini bentuk pencideraan nurani rakyat yang bisa dilihat dengan kasat mata”, Grace dalam chatnya mulai tersulut mengingat kejadian yang dikaitkan dengan proses berkaryanya. Dominasi orang-orang memang sangat jelas terlihat, dan ini menurut saya adalah pembacaan narasi karya yang tidak disamarkan maupun disembunyikan. 

Aneka jerigen, drum minyak, dan sekat yang menyembunyikan minyak timbunan adalah simbol yang mendukung narasi karya, dan inipun juga secara jelas diungkapkan Grace. Secara kontekstual isi karya ini benar-benar mewakili keadaan sosial. Aspek-aspek yang mempengaruhi karyanya juga sangat jelas yaitu keadaan susah yang dialami semua daerah di negeri ini yaitu kelangkaan minyak tanah.

Rasanya kejelasan bahasa ungkap tidak perlu saya perdebatkan, saya telah melihat apa yang ingin disampaikan Grace melalui karyanya. Melalui iPad yang menyimpan karya Grace, otot mata saya secara reflek membelokkan pandangan ke sebelah kiri dimana iPad saya letakkan. Menelisik pada figur-figur yang terlihat indah dan rapi dalam penggarapannya. 

Sebuah keindahan tapi juga sebuah persoalan bagiku. Hal yang membuat saya benar-benar penasaran yaitu pencapaian estetika karya. Saya melihat figur-figur dalam karya ini tidak menunjukkan adanya raut kesedihan dan ini justru mengarah pada bentuk keindahan. Apa yang melatarbelakangi dan untuk apa Grace mencapai itu semua ?, apakah karena kesan ibu dan wanita yang disandangnya sehingga karya harus rapih dan indah ?. 

Saya mulai menunggu jawabannya, tak lama kemudian tulisan typing mulai terlihat artinya ia mulai menjawab pertanyaan saya. Grace mengatakan bahwa sebagai seniman tentu pencapaian estetika adalah bagian hal penting, tapi tidak semata-mata, karena ia memposisikan menyampaikan esensi bukan indah semata.

 Keindahan yang dibentuk sekali lagi adalah sebagai upaya merujuk mewakili zamannya. “Masak saya harus membuat baju kusam yang mengada-ada seperti era orde lama zaman pak Sukarno” yang diakhiri dengan tanda (:D) yang di monitor diterjemahkan dengan gambar wajah ketawa. 

Baginya realita kehidupan itu tidak dibuat-buat, ia tetap menggambarkan orang-orang yang antri sebagai masyarakat [perhatikan sandal, baju, rok, celana, sarung, topi, kopiah sampai kacamata, itu adalah kewajaran yang tidak berlebihan, saya tidak harus menggambarkan orang antre dengan memakai sepatu Nike atau Reebok, tas Loui Vuitton atau baju Piere Cardin, dan lihatlah juga bagaimana seorang nenek yang masih mengunyah sirih juga saya sertakan], berikut jawaban chat Grace yang juga diakhiri dengan tanda (:D).

Menarik menurutku, bahwa Grace benar-benar mengungkapkan keadaan sebenarnya, meski simbolisme menimbulkan pertanyaan, atau bahkan simbolisme itu tidak penting dibaca sehingga menjebak pada pemaknaan estetika belaka. Pelan-pelan akhirnya saya mulai membaca bahwa esensi dari karya ini menjadi tujuan utama.

Lantas mengapa Grace menunjukkan karya ini dalam tiga dimensi dengan figure-figur kecil yang memerankan narasi ?, ini juga menarik kutanyakan. Grace menjawab “ini adalah konsep dan juga analog, keduanya saya perankan sebagai bagian keluar dari karya dua dimensi seperti yang juga saya tekuni.” 

Pahamlah akhirnya bahwa Ia menentukan fokus esensi supaya tidak melebar dalam pembacaan, bidang sangat ia perhatikan, ia tidak ingin cerita kemana-mana dan pembacaan mudah ditangkap oleh penikmat seni rupa. 

Sedangkan figur-figur kecil ia analogkan juga sebagai potret rakyat kecil, seolah ia juga ingin mengecilkan permasalahan menjadi fokus. Dan ini menurut saya ia telah berhasil membuat strategi pencitraan esensi karya, kecil bukan mini, namun ditanggannya kecil adalah fokus dan bukan menyederhanakan masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun