Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nikmatnya Kopi Bali di Kanvas Cak Rudy

7 Juni 2016   13:33 Diperbarui: 8 Juni 2016   22:47 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RUDY SRIHANDOKO, Jendral Kwan Kong, 2012, 200 x 150 cm, serbuk kopi dan akrilik di atas kanvas

KOPI yang hampir memenuhi cangkir keramik putih telah bergeser dari tempatnya. Kopi panas selalu memerankan kodratnya, menyengat lidah, menggerakkan pacu jantung dan membukakan mata. Siang sedang menumpuk panasnya, menyedot retina mata menjadi redup, hari itu memang cukup kantuk dari lelah rutinitas pagi yang suntuk.

Cita rasa kopi bali panas yang khas seakan menjadi cairan peluntur noda kotor pembuluh arteri pikiranku, melewati koneksi serabut saraf-saraf okulomotoris yang semula lemah, akhirnya bangkit menyentuh dinding-dinding studio Rudy Srihandoko, Jalan kebo Iwa, Denpasar Barat.

Di ruang studio yang juga kediamannya, di dekat tangga naik ke lantai dua kulihat lukisan Jendral Kwan Kong atau Guan Yu dari Zaman Tiga Negara. Lukisan serbuk kopi dan akrilik di atas kanvas yang berukuran  200 x 150 cm terlihat bukan saja mengisi aksentuasi ruang, namun lebih menempelkan pada ingatan sosok jendral pada tahun 200 an masehi, berasal dari rakyat jelata yang dapat menumpas berbagai pemberontakan di Tiongkok. Salah satu pemberontakan yang melegenda ia tumpas yaitu pemberontakan sorban kuning. Sosok Jendral Kwan Kong karya Rudy Srihandoko sepertinya tidak ingin dibicarakan mengenai keberhasilan dalam mengembalikan ketentraman negara Tiongkok, ini saya rasakan ketika didekati ada aroma kopi yang mengalahkannya.

Lukisan Jendral Kwan Kong adalah karya seni yang dihasilkan dari serbuk kopi seperti yang saya minum seperti biasa. Kopi Bali telah merajut menjadi warna-warna dominan nan kuat memberikan karakter, mixed media bukan sekedar bahan campur warna, Kopi Balilah yang menentukan segalanya. Bisa dibayangkan, betapa kopi telah meningkatkan fungsi dan perannya, dari minuman yang menjadi budaya menjadi lukisan yang mendunia.

Adalah Rudy Srihandoko (57) atau dikenal dengan Cak Rudy. Nama Cak sangat melekat karena Kota Surabaya yang menjadi tempat asalnya. Cak Rudy kini menetap di Bali berkarya dan menjadi pelaku seni rupa. Materi kopi adalah buah hasil riset pribadi yang telah lama ia tekuni. Ia merasa terpacu adrenalinnya bila menemukan warna-warna natural dari racikan kopi. Warna-warna alami kopi adalah stimulan yang menggerakkan jiwanya, memiliki rasa  melengkapi keindraan yang iapunya. Karena tanpa kopi mungkin karakter lukisan akan beda. Kopi adalah partitur warna yang memiliki lapisan nada-nada rahasia, keluar dengansendirinya.

Membahas materi kopi di lukisan Cak Rudy seolah tidak pernah ada habisnya. Dan, saya akan berusaha masuk pada wilayah proses kreatif untuk mengetahui setiap dimensi warna kopi yang dihasilkan dari sangria bara.

 

***

 

Bagi kebanyakan orang menggunakan ampas kopi kemudian dituangkan sebagai lukisan di kertas atau media lain bukanlah sebuah hal baru. Di tangan banyak seniman, di luar maupun di dalam negeri kopi adalah bahan yang dipakai untuk media warna, karena kandungan warna yang memberikan tone khusus inilah kopi sudah menjadi pembicaraan pada tingkat genre lukisan yaitu lukisankopi (coffee painting).

 

Pada Mula dan Proses Terjadi

Cak Rudy mengatakan ide menggunakan kopi untuk melukis ini sebetulnya sudah lama yaitu ketika awal tahun 1980-an, dimana saat itu ia masih menekuni dunia grafis dan kartun di Surabaya. Kopi masih menjadi bahan ekplorasi yang tidak ia seriusi. Seperti membuka file lama, baru tahun 2000 Cak Rudy berjumpa dengan Wirawan Tjahjadi atau dikenal Wewe pemilik usaha industri kopi bali dengan merek Kupu-kupu Bola Dunia. Gayung bersambut, Wewe yang memiliki ketertarikan pada seni rupadan kolektor lukisan mulai menantangnya. Wewe memberikan beragam jenis kopi bali seperti robusta, arabica maupun campuran keduanya untuk menjadi bahan eksplorasi warna. Sebuah laboratorium warna kopi akhirnya tercipta, dan proses mulai bekerja.

Cak Rudy hari itu bukan lagi perupa, tapi seorang peneliti yang memegang parameter untuk menguji risetnya. Hari demi hari ia tekuni sampai akhirnya ia tahu ada banyak faktor yang terlibat mempengaruhi pembuatan kopi sebagai materi warna. Proses menyanggra (pemanasan) adalah sangat penting bagaimana level coklat sampai hitam terjadi. Butiran-butiran kopi yang halus dihaluskan kembali seperti bedak, semua dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian.

Setelah bubuk halus dihasilkan, permasalahan berikutnya adalah bagaimana kopi bisa menempel kuat di canvas dan mau berasimilasi dengan bahan warna lain. Cak Rudy tidak berhenti memikirkan warna tunggal kopi, namun bagaimana pembauran dari warna kopi baik dengan oil maupun acrylic serta bahan lainnya terjadi. Apakah warna kopi dapat mempererat kesatuan warna? Itulah tantangannya.

Kopi seperti mahluk hidup yang bernyawa, Cak Rudy sadar bahwa warna kopi juga memiliki sikap dan perasaan. Ia dapat memperhatikan dan merasakan kepentingan serta tujuan bersama dari pembauran warna. Ini perlu proses lama, untuk memahami harus dibayar mahal dengan kegagalan-kegalan pada tahap awal. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bisa diselesaikan, tuturnya.

 

Pembuktian yang Dramatis

Materi warna kopi telah dihasilkan, Cak Rudy mulai berhasil menyelesaikan karya-karyanya. Sebuah pembuktian selanjutnya yang harus dihadapi yaitu kekuatan, pengaruh kelembaban dan peluang jamur hidup yang akan merusak karya. Bagai menyelesaikan tesis terakhir, melalui kolektor dari China dan Hongkong yang membeli karyanya, dilakukanlah pengujian kekuatan materi warna. Sebuah pengujian dengan tindakan yang tidak lazim dilakukan oleh orang awam, yaitu menyikat, menarik, membasahi karya serta menggulung sampai pada diameter 10 cm tidak terjadi keretakan. Awalnya memang seperti tindakan merusak karya, tapi setelah melalui tahapengujian maka lukisan Cak Rudy dikatakan kuat bahkan melebihi warna-warna yang biasa digunakan untuk melukis. Setahun kemudian sebuah kabar yang melegakan tiba, yaitu tidak ada jamur yang bersarang di materi kopi itu. Dan ini membuat Cak Rudy seperti berhasil atas tesisnya tentang media warna kopi.

Cak Rudy boleh merasa puas dari penelitian pribadi yang ia lakoni dengan tekun. Komposisi-komposi spectrum warna ia rekam dalam memorinya, siap untuk digunakan kapan saja. Layaknya spectrum pantone warna CMYK (cyan,magenta, yellow dan key/black) ia telah sukses menghasilkan pantone warna CRCC atau Cak Rudy Coffee Color. Warna-warna ini ia patenkan dalam catatan pribadi, bahkan dengan kecerdasannya sudah berada di luar kepala. Mungkin sekarang sudah ratusan karya ia hasilkan dari warna kopi yang bicara.

 

***

 

Mengulas karya Jendral Kwan Kong yang menjadi rujukan pilihan, saya melihat Cak Rudy hanya ingin memaknai cara pandang yang beda atas ikon tokoh-tokoh penting yang melegenda. Ini adalah sebuah terobosan jitu ketika seni rupa terlena larut atau memiliki kesamaan konsep, dengan mengatasnamakan seni rupa kontemporer, Cak Rudy justru mengambil jalan lain meletakkan identitas tokoh itu pada materi karya. Sosok Jendral Kwan Tong telah ia akurkan dengan kopi bali dan ini bukan sebuah strategi, tapi kepintaran memainkan infra struktur warna dalam penegas visual.

Cak Rudy saya anggap telah berhasil memberikan pengkayaan perspektif, ia mengkonstruksi kopi sebagai pilihan menjadi sebuah identitas yang mampu bertarung dalam kancah kualitas estetika. Memang ada hal yang masih perlu dibahas lebih lanjut yaitusebuah pertanyaan yang cukup esensial berkaitan dengan hidup matinya keputusan perihal materi warna, apakah warna alami kopi lebih dahsyat dari oil atau acrylic atau sebaliknya?

Pada kesempatan yang sama, penasaran saya akhirnya terjawab bagaimana Cak Rudy selama iniibarat pemain bulu tangkis, ia bisa meladeni lawan tandingnya baik tunggal, ganda, maupun ganda campuran. Hal ini saya buktikan dengan contoh karya Musim Panen Padi Tiba, 2013, 200 x 200 cm coffee on canvas dan Pak Suharto,2013, 200 x 200 cm arylic on Canvas. Membandingkan ketiga karya ini bagi saya adalah penting dalam membahas materi karyanya, sehingga bisa memperkaya pembacaan karyanya.

Dan ketika saya tanya apakah ada rencana menggunakan kopi yang mahal harganya yaitu luwak sebagai materi warna, Cak Rudy menjawab secara warna hasilnya akan sama, dan yang lebih penting: “Aku tidak ingin karya lukisanku dihargai tinggi karena identiatas harga mahal yang melekat di kopi luwak itu,” tambahnya. Dan ini membuat saya benar-benar ingin tertawa.

 

****

 

Kopi di cangkir telah habis, hanya tinggal endapan hitam seperti acrylic. Saya mencoba meminta selembar kertas kepada Cak Rudy, kuas yang masih bersih di dalam kaleng mulai saya ambil. Sejenak saya merasa seniman, saya mencoba menggambar perahu. Cak Rudy menertawaiku, dan ia bilang: "Kalau ingin gambar perahu, biarlah nanti kukirim ke rumahmu." 

(Yudha Bantono, Visiting StudioArtist #10-Rudy Srihandoko 26.02.2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun