Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nikmatnya Kopi Bali di Kanvas Cak Rudy

7 Juni 2016   13:33 Diperbarui: 8 Juni 2016   22:47 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Mengulas karya Jendral Kwan Kong yang menjadi rujukan pilihan, saya melihat Cak Rudy hanya ingin memaknai cara pandang yang beda atas ikon tokoh-tokoh penting yang melegenda. Ini adalah sebuah terobosan jitu ketika seni rupa terlena larut atau memiliki kesamaan konsep, dengan mengatasnamakan seni rupa kontemporer, Cak Rudy justru mengambil jalan lain meletakkan identitas tokoh itu pada materi karya. Sosok Jendral Kwan Tong telah ia akurkan dengan kopi bali dan ini bukan sebuah strategi, tapi kepintaran memainkan infra struktur warna dalam penegas visual.

Cak Rudy saya anggap telah berhasil memberikan pengkayaan perspektif, ia mengkonstruksi kopi sebagai pilihan menjadi sebuah identitas yang mampu bertarung dalam kancah kualitas estetika. Memang ada hal yang masih perlu dibahas lebih lanjut yaitusebuah pertanyaan yang cukup esensial berkaitan dengan hidup matinya keputusan perihal materi warna, apakah warna alami kopi lebih dahsyat dari oil atau acrylic atau sebaliknya?

Pada kesempatan yang sama, penasaran saya akhirnya terjawab bagaimana Cak Rudy selama iniibarat pemain bulu tangkis, ia bisa meladeni lawan tandingnya baik tunggal, ganda, maupun ganda campuran. Hal ini saya buktikan dengan contoh karya Musim Panen Padi Tiba, 2013, 200 x 200 cm coffee on canvas dan Pak Suharto,2013, 200 x 200 cm arylic on Canvas. Membandingkan ketiga karya ini bagi saya adalah penting dalam membahas materi karyanya, sehingga bisa memperkaya pembacaan karyanya.

Dan ketika saya tanya apakah ada rencana menggunakan kopi yang mahal harganya yaitu luwak sebagai materi warna, Cak Rudy menjawab secara warna hasilnya akan sama, dan yang lebih penting: “Aku tidak ingin karya lukisanku dihargai tinggi karena identiatas harga mahal yang melekat di kopi luwak itu,” tambahnya. Dan ini membuat saya benar-benar ingin tertawa.

 

****

 

Kopi di cangkir telah habis, hanya tinggal endapan hitam seperti acrylic. Saya mencoba meminta selembar kertas kepada Cak Rudy, kuas yang masih bersih di dalam kaleng mulai saya ambil. Sejenak saya merasa seniman, saya mencoba menggambar perahu. Cak Rudy menertawaiku, dan ia bilang: "Kalau ingin gambar perahu, biarlah nanti kukirim ke rumahmu." 

(Yudha Bantono, Visiting StudioArtist #10-Rudy Srihandoko 26.02.2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun