Mohon tunggu...
Yudha Bantono
Yudha Bantono Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca peristiwa

Veterinarian, Art and architecture writer yubantono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pameran Nitibumi dari Nitirupa dan Eskpresi Kritis terhadap Bumi

5 Juni 2016   11:25 Diperbarui: 5 Juni 2016   15:29 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pameran Nitibumi oleh Komunitas Nitirupa di Bentara Budaya Bali.

AWAL Juni tepatnya 3 Juni selama delapan hari ke depannya, di Bentara Budaya Bali, Denpasar digelar pameran seni rupa Nitibumi oleh Komunitas Nitirupa. Pameran yang dikuratori W. Seriyoga Parta ini manyajikan karya 12 perupa yakni Wayan Redika, Made Wiradana, Loka Suara, Made Supena, Teja Astawa, Imam Nurofiq, Galung Wiratmaja, Nyoman Sujana Kenyem, Made Gunawan, Uuk Paramahita, Bambang Putu Juliarta dan Pande Alit Wijaya Suta.

 

Pameran Nitibumi menarik untuk dicermati sebagai upaya perupa Nitirupa memilih cara pandang mengkritisi bumi dengan bahasa rupa. Karya-karya yang ditampilkan terlihat memiliki pembacaan pada wilayah konflik maupun jalan damai melihat sebuah harapan bagi bumi. Sebuah jalan yang ditempuh para perupa Nitirupa yang memilih cara mengeksekusi bumi memang tidak menunjukkan reaksional yang berlebihan bila dilihat pada persoalan kondisi bumi saat ini. Bumi yang mengalami degradasi kualitas akibat persoalan lingkungan secara global hanya dibaca oleh sebagian seniman.

Sebuah pertanyaan penting yang dapat diajukan dalam pameran Nitibumi yaitu manakala pameran yang mengusung “bumi” sebagai pijakan gagasan besar terhadap peran seni rupa sebagai bagian kesadaran, mestinya karya-karya yang menunjukkan ekspresi visual lebih berani muncul daripada ekspresi estetis. Seriyoga Parta menginterpretasi tema yang diusung Nitibumi berlatarkan pada refleksi atas kondisi bumi tempat manusia dan berbagai entitas kehidupan bersandar tubuh dan dinamika. Menurutnya persoalan alam berupa kerusakan dan bencana juga tidak bisa dilepaskan dari ulah serta prilaku, ambisi dan keserakahan manusia, menjadi pertanyaan yang bersifat subjectif dari para perupa. Singkatnya menurut Yoga konteks pameran Nitibumi yaitu menerjemahkan kegelisahan mereka terhadap alam dan lingkungan.

Wayan Redika menghadirkan karya hasil pengamatannya secara langsung terhadap daerah galian pasir di desa Butus, Karangasem. Karya Redika seperti mengajak pengunjung pameran untuk mengetahui proyek penambangan pasir di Bali yang memiliki dampak terhadap daya dukung lingkungan. Redika sangat paham benar apa yang menjadi ikon penting dari proyek penambangan pasir yaitu hadirnya alat-alat berat yang berdialog dengan pasir dan batu-batu. Karya yang berjudul Butus 79-93 ini mengisyaratkan bumi sebagai medium kehidupan paling penting, bila eksploitasi berlebihan dan keserakahan yang terus memuncak sama kiranya meminang kehancuran kehidupan masa depan.

Made Wiradana dengan karya yang berjudul Illegal loging, mengkritisi penebangan dan pembakaran hutan secara illegal yang berdampak besar bagi ekosistem. Karya Wiradana yang menghadirkan orang-orang berbanyak yang hendak memotong pohon besar. Illegal loging sepertinya diibaratkan sebuah pesta atau perayaan oleh perupanya, sehingga kesan illegal loging yang ingin ditunjukkan oleh Wiradana belum terasa untuk dapat dilihat secara dampak. Tentu kembali pada medan pembacaan apakah illegal Logging sudah menjadi pesta pora para penjarah kayu-kayu di hutan, menjadi pertanyaan dari karya ini.

Made Supena, masih seperti yang dulu-dulu ketika melihat karya Supena, abstaraksi alam dan jagad raya menjadi ruang imaji dalam menciptakan karyanya. Supena sangat konsisten memainkan warna-warna alam untuk menerjemahkan apa yang ingin disampaikan. Karya Meruwat Bumi adalah sebuah upaya Supena untuk menjaga dan mengawal bumi agar terhindar dari kerusakan dan menimbulkan bencana. Seperti laku ritual budaya “ruwatan”  menjadi pengingat untuk menempatkan bumi yang harmonis.

Loka Suara dengan karya yang berjudul Ritus Bumi Sudda ia ingin membicarakan harmonisasi antara niskala dan sekala. Nampak jelas Loka sebagai perupa Bali membawa pemikiran tradisi budayanya dalam menerjemahkan kelestarian bumi. Pada karya Loka tidak nampak kehijauan sebagai symbol dari warna lestari, empat tanaman yang merepresentasikan  pohon yang baru tumbuh dan kura-kura yang berada dalam sangkar serta satu figur dengan pandangan ke depan memegang bibit tanaman mencerminkan bahwa Loka berangkat dari kehancuran bumi, sehingga perlu diritus untuk lestari.

Karya Green Dictionary Imam Nurofiq sangat menarik untuk dibaca berkaitan dengan pengungkapan manusia sebagai periode histori kerusakan lingkungan hidup. Karya ini hadir bukan sebagai rujukan untuk menerjemahkan hal-hal yang berkaitan dengan “hijau” atau lestari saja. Dengan menampilkan figur-figur dalam karyanya ia seolah melingkupi pemikiran dan konsep-konsep pandangannya tentang sosok sebenarnya yang menjadi subject matter dari kerusakan lingkungan. Membaca karya Imam seperti ingin mengetahui peran yang dimainkan dari tiga figure dan tiga peristiwa yang masing-masing mewakili karakaternya sebagai subject matter penyebab bencana bagi bumi.

Di samping karya lukis Imam Nurofiq juga menghadirkan karya instalasi yang dinstal di tengah-tengah ruang pameran. Karya yang berjudul Bali Map seperti ingin menegaskan atas alih fungsi lahan di Bali yang terus merubah wajah bumi Bali dari perkembangan dan kemajuannya.

Galung Wiratmaja, dengan karya Kita…??? Sangat jelas mengusung sebuah pertanyaan. Karya Galung seperti merekam pengalaman bersama perupa kelompoknya yaitu Niti Rupa. Kita yang direpresentasikan dalam peserta pameran dapat dibaca sebagai bagian dari proses ingin berbuat yang terbaik bagi bumi. Karya ini kiranya menjadi pertanyaan ke dalam bagi Niti Rupa terhadap apa yang telah dilaksanakan dalam project seni rupa penyadaran terhadap penyelamatan bumi.

Nyoman Sujana Kenyem dengan karyanya yang ingin mengungkapkan kejadian gunung meletus memberikan dampak bencana dan berkah bagi manusia. Karya yang berjudul To Be C Mining atau menjadi galian C digambarkan dengan Gunung berapi yang tidak lain adalah Gunung Agung yang kala itu meletus dan kini sisa letusannya menghasilkan pasir yang dikeruk secara terus menerus bagi kebutuhan manusia. Melihat karya To Be C Mining, Kenyem tidak kali ini saja merepon gunung berapi, di karya-karya yang lain ia menghadirkan banyak sekali gunung-gunung dengan berbanyak figure yang dihasilkan. Memang terlihat secara jelas dalam karya ini Kenyem mengajak pembaca karyanya langsung pada gunung dan aliran larva pijar, sementara tiga figur naif yang menjadi figur khas di lukisannya seolah tergelincir atau menuruni aliran larva pijar itu. Tidak seperti biasanya Kenyem selalu menghadirkan banyak figure-figur naif di karyanya, dan kali ini hanya tiga. Apakah ini caranya membawa pembaca pada ruang sunyi untuk merenung ?.

Kenyem juga menghadirkan karya seni instalasi Bumi Sakit dalam karya instalasinya kenyem membuat replika bumi dari sabut kelapa yang dipintal bersusun rapi mengelilingi kerangka bambu. Dalam karya ini Kenyem lebih menegaskan bahwa bumi sedang sakit dan memerlukan uluran tangan penghuninya untuk menyembuhkannya. Pada malam pembukaan, karya ini direspons sebuah nomor tari kontemporer Harapan Bumi oleh Jasmine Okubo & Dibal Ranuh diiringi komposisi musik Bisik Semesta dari grup band MANU.

Made Gunawan, mengusung karya Harmoni. Karyanya terlihat seperti seri-seri karya yang lainnya tetap tidak masuk pada wilayah konflik, baik mempertanyakan maupun upaya perlawanan. Gunawan selalu ingin membawa pesan damai melihat alam. Karya harmoni yang ia selesaikan dengan pencapaian estetis melibatkan gaya lukisan tradisi Bali semakin menentukan bahwa Gunawan ingin menari-nari di wilayah harmoni itu. Dalam karya Harmoni Gunawan ingin menunjukkan bumi sebagai bagian dari sistem tata surya diantara planet-planet yang ada. Planet Bumi yang menjadi tempat hidup manusia dihadirkan dengan beragam kehidupan  di dalamnya, harmoni dan lestari.

Hampir senada dengan Made Gunawan, Uuk Paramahita juga mengusung karya yang berjudul Harmony for the Earth. Uuk sepertinya ingin meletakkan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pijakan melihat harmoni bagi kehidupan di muka bumi ini. Dua figur yang menjadi ciri khas karya Uuk berdiri di ujung papan keseimbangan. Papan panjang yang menacap di bumi, bisa dimaknai sebagai titik berangkat untuk menciptakan keseimbangan. Harmonis manusia dengan manusia dan harmonis manusia dengan alam. Ada yang menarik dari karya Uuk kali ini, yaitu ia semakin berani menghadirkan warna-warna yang terang termasuk kanvas yang menjadi latar bertutur hampir ia penuhi, namun komposisi ruang tetap berhasil ia jaga.

Putu Bambang Juliarta, dengan karya Refleksi Konservasi, dua figur wanita serupa memegang slang air diantara dua lahan yang dibatasi oleh parit. Sapi-sapi dengan perawakan sedikit kurus serta latar belakang bendungan air dan lansekap perbukitan yang terlihat jauh menjadi refleksi yang mengingatkan, bahwa di dalam pengelolaan bumi sejatinya manusia berfikir untuk kelalanjutan di masa depan. Karya Bambang Juliarta juga menarik untuk dibaca sebagai narasi hadirnya dua figur serupa sebagai simbol cerminan aku adalah kamu dan kamu adalah aku (tat twam asi) untuk berbuat baik bagi bumi.

Pande Ali Wijaya mengkritisi tentang dinamika bumi dari daya dukungnya terhadap hunian. Tampak gedung-gedung yang memiliki ruangan tidak mampu menampung populasi manusia yang menghuninya. Pande melihat bumi sudah sesak untuk menampung jumlah manusia. Sementara  menurut Pande dalam catatan katalog pameran kelebihannya bumi atas beban dan masalah dikarenakan krisis kesadaran yang memunculkan tindakan-tindakan yang membuat kualitas bumi semakin buruk.

Teja Astawa, melalui karya Dewa Murka ia ingin mengusung tema tolak reklamasi Teluk Benoa sebagai isu seksi dan terkini untuk melihat kerusakan lingkungan paling dekat yang ada di sekitaranya. Saya melihat karya Teja cukup berhasil dalam merespons kejadian berupa konflik lingkungan yang harus dicermati ketika membicarakan bumi “Bali”. Adegan-adegan jenaka dari figur-figur wayang yang mengambil cerminan dari bentuk-bentuk lukisan tradisi wayang kamasan, menjadi sangat menarik makanakala isu tolak reklamasi Teluk Benoa diangkat dan dihantarkan dalam gaya seolah tidak serius, padahal mengkritik secara tajam dari rencana pelaksanaan reklamasi Teluk Benoa. Dalam karya Teja dapat saya katakan “beruntung” ada karya Teja, sehingga pemeran ini masih memiliki konteks kepekaan terhadap masalah besar lingkungan hidup yang dihadapi Bali. Tidak bisa dibayangkan, tanpa karya Teja mungkin pameran ini bisa dikatakan tidak memiliki kepekaan terhadap isu lingkungan terkini yang dihadapi Bali.

Bagaimanapun, penilaian terhadap karya-karya kelompok Nitirupa tak bisa dilepaskan dari sensitivitas membaca bumi dan permasalahannya. Pameran Nitibumi memang terlihat mengkritisi bumi secara luas bukan hanya berbicara isu-isu masalah lingkungan hidup yang ada di Bali. Di tengah maraknya perbincangan mengenai konteks representasi dari sensitivitas terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya sebagai kontens seni rupa kontemporer Indonesia, maka membicarakan karya-karya seniman Nitirupa terlihat masih mementingkan citraan estetis yang tinggi daripada perlawanan sebagai strategi bahasa ungkap.

Jika lukisan-lukisan karya perupa Nitirupa bukan menyuarakan tentang bumi secara luas namun khusus pada satu masalah yang dilihat secara bersama dan diintepretasikan dengan caranya masing-masing, lalu apa yang terjadi? Ternyata tak mudah menangkap sensitivitas dalam mengolah rasa dengan cara mengembangkan terhadap isu kekinian yang dapat dirasakan oleh publik penikmat seni rupa secara luas.

Dalam konteks seni rupa penyadaran terhadap bumi, memang banyak terlihat seorang perupa masih terjebak pada keutamaan konstruksi visual dari pada hal-hal yang esensial. Inilah pertanyaan penting saya ketika membaca pameran Nitibumi terlepas dari capaian estetis dan nilai jual sebuah karyanya.

 

(Yudha Bantono, Pembacaan Bebas Pameran Nitibumi, Bentara Budaya Bali, 05.06.2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun